Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Catatan dari Pasar Malam

24 Agustus 2021   12:28 Diperbarui: 24 Agustus 2021   21:16 3103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: suasana pasar malam yang telah sepi. (Foto: harutmovsisyan Via Pixabay)

Sebulan penuh ia telah menghemat pengeluaran. Menggunakan sepeda motor dan memarkirkan mobilnya. Alasannya kepada Clara, agar terkesan romantis. Padahal, ia mengambil perhitungan biaya bensin yang paling minim. 

Seminggu habis lima ratus ribu. Dan itu sudah termasuk biaya tak terduga. Martabak manis untuk bakal calon mertua. Permen dan coklat untuk adik dan keponakan Clara. 

Belajar dari kegagalan cinta di masa lalu. Ia kini lebih hemat. Jangan sampai tekor kelewat banyak. Patah hati jangan sampai menguras materi. 

Bahkan untuk donasi di media sosial. Ia mencatat semua pengeluaran. Malaikat tentu tahu dan merasa segan. 

"Clara, aku kehabisan uang tunai. Boleh pinjam dulu?" Herman berlatih meminta. 

Pikirannya makin kalut, saat melihat Clara berjalan ke arahnya. Buyar sudah kata-kata yang dilatih. Gengsi bercampur malu. Kesan pertama sebagai pacar, mana boleh ternoda. 

Haruskah melaju kencang dan pura-pura lupa membayar. Matanya melihat ke sekeliling dan tak menemukan petugas parkir dimana-mana. "Ayolah Clara, cepat jalannya," dalam hatinya berkata. 

Pijakan kaki motor berbunyi, Clara sudah duduk manis di belakangnya. Kala jemari lentik menyentuh pinggang, Herman memutar starter dengan cekatan. 

Namun, belum sempat jemari melepas kopling. Petugas parkir mendadak muncul di depan muka. Meniup peluit, mengarahkan lengan ke arah jalan keluar. Niat tancap gas hilang seketika.

"Dua ribu!" ucap petugas parkir, sembari memberikan selembar tiket berwarna biru. 

Herman terkejut menelan ludah. Dalam hati hampir mengumpat. Raut mukanya pucat. Iapun pasrah. Menatap sendu ke arah belakang. Menarik nafas panjang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun