Sebulan penuh ia telah menghemat pengeluaran. Menggunakan sepeda motor dan memarkirkan mobilnya. Alasannya kepada Clara, agar terkesan romantis. Padahal, ia mengambil perhitungan biaya bensin yang paling minim.Â
Seminggu habis lima ratus ribu. Dan itu sudah termasuk biaya tak terduga. Martabak manis untuk bakal calon mertua. Permen dan coklat untuk adik dan keponakan Clara.Â
Belajar dari kegagalan cinta di masa lalu. Ia kini lebih hemat. Jangan sampai tekor kelewat banyak. Patah hati jangan sampai menguras materi.Â
Bahkan untuk donasi di media sosial. Ia mencatat semua pengeluaran. Malaikat tentu tahu dan merasa segan.Â
"Clara, aku kehabisan uang tunai. Boleh pinjam dulu?" Herman berlatih meminta.Â
Pikirannya makin kalut, saat melihat Clara berjalan ke arahnya. Buyar sudah kata-kata yang dilatih. Gengsi bercampur malu. Kesan pertama sebagai pacar, mana boleh ternoda.Â
Haruskah melaju kencang dan pura-pura lupa membayar. Matanya melihat ke sekeliling dan tak menemukan petugas parkir dimana-mana. "Ayolah Clara, cepat jalannya," dalam hatinya berkata.Â
Pijakan kaki motor berbunyi, Clara sudah duduk manis di belakangnya. Kala jemari lentik menyentuh pinggang, Herman memutar starter dengan cekatan.Â
Namun, belum sempat jemari melepas kopling. Petugas parkir mendadak muncul di depan muka. Meniup peluit, mengarahkan lengan ke arah jalan keluar. Niat tancap gas hilang seketika.
"Dua ribu!" ucap petugas parkir, sembari memberikan selembar tiket berwarna biru.Â
Herman terkejut menelan ludah. Dalam hati hampir mengumpat. Raut mukanya pucat. Iapun pasrah. Menatap sendu ke arah belakang. Menarik nafas panjang.Â