Kerlap-kerlip lampu warna-warni. Alunan musik ceria, menggema sepanjang malam. Tenda-tenda berisi boneka. Dan jalanan penuh penjual balon dan kembang gula. Di bawah wahana bianglala, seorang lelaki terlihat gelisah.
Herman membongkar isi dompetnya. Mencari selembar kertas merah muda dengan nominal seratus ribu rupiah. Mengeluarkan puluhan kartu dan nota. Dengan muka masam, menelisik setiap sela-sela.Â
Bolak-balik ia mencari. Uang pecahan besar yang biasa diselipkan dalam dompet, kini telah hilang. Cash flow berantakan. Hancur sudah rencana keuangan. Herman kecewa.Â
Biasanya Herman membayar segala keperluan dengan uang elektronik. Bila terdesak, barulah ia pergi ke ATM atau swalayan untuk menarik uang kontan.Â
Padahal malam ini ia membutuhkan uang kontan. Biaya parkir di pasar malam, tak menerima uang elektronik. Malu rasanya, bila harus meminjam pada Clara. Pacar yang baru saja diresmikan di bilik tong setan.Â
"Duh, mimpi apa aku semalam!"Â
Keringat dingin mengucur deras. Di atas motor ia menanti Clara yang belum juga muncul, setelah pamit ke toilet di samping rumah hantu.Â
Dan malam ini, terasa horor bagi Herman. Kehilangan uang, ternyata lebih buruk dari kehilangan kontak mantan.Â
Herman masih menerka-nerka. Ke mana kiranya uang itu melayang. Padahal budget untuk usaha pendekatan kepada Clara, sudah sesuai pengeluaran.Â
Adam Smith pernah berkata, satu-satunya anggaran yang baik, adalah anggaran yang berimbang. Dan bagi Herman, mengusahakan Clara sebagai teman hidup adalah investasi yang menjanjikan.Â