"Bukan! Hantu yang kamu maksud, adalah perbuatanmu di masa lalu!" ucap Barry, seraya berlalu.Â
Barry membuka layar laptop, ia mencari berita lama tentang tragedi kebakaran dan pembunuhan satu keluarga di dusun Winangun. Mencari data korban. Menyusuri laman demi laman.Â
"Keluarga itu tidak meninggal seluruhnya! Di saat kejadian, anak sulungnya tengah bekerja di Jakarta!"
Kirman memang bajingan. Namun untuk kasus yang tengah dihadapi, ia jelas tidak bersalah. Haruskah kasus lama ia ungkap kembali. Bukankah segala cara harus dilakukan.Â
Meski melepaskan seorang penjahat keji dari jerat hukum di pengadilan, bukanlah sebuah prestasi.Â
Barry tak mau mengelabui hukum, dan tidak pula menempatkan kliennya sebagai peran pengganti. Hanya karena, pembunuh sebenarnya belum terungkap. Namun kali ini, ia punya senjata pamungkas.Â
"Akhirnya, sidang penghabisan!"
Kirman merasa gelisah, pikiran tak tenang. Ketakutan seketika muncul dalam hatinya. Dan Iapun menatap lirih pada petugas, yang melangkah tergesa-gesa ke arah sel untuk menjemput dirinya.Â
Dua bulan dalam tembok derita, kini ia harus menghadapi sidang ketiga. Harapannya digantungkan pada lidah pengacara di ruang pengadilan.Â
Pintu teralis terbuka, Kirman dipersilahkan beranjak. Dengan langkah gontai ia menyongsong petugas yang menanti di luar.Â
"Aaaarghh!"Â
Pekik kesakitan Kirman terhenti dalam bekapan tangan petugas. Hingga desis dari mulutnya tak terdengar lagi. Besi runcing masih menancap di leher yang bersimbah darah.Â