Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Integral

9 Juni 2021   11:32 Diperbarui: 10 Juni 2021   02:37 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Integral /Gambar: Comfreak via Pixabay.

KALA mentari hinggap di sela-sela ranting pohon Angsana yang menjulang tinggi di tepi jalan. Di bawah pohon itu, aku berteduh mengemas peluh dan mencoba menikmati semilir angin sepoi-sepoi. 

Pohon itu penuh luka. Ditancapkan paku, ditempelkan poster kampanye, diikat kuat-kuat pada bendera ormas. Dan aku menyobek salah satu poster calon legislatif, untuk alas duduk. 

Di depanku, tampak deretan ruko tua yang memprihatinkan. Hanya ada satu toko dengan pintu terbuka, sisanya mungkin telah lama tutup. Vandalisme berupa alat kelamin pria, coretan nama genk sekolah dan gravity usang, menghiasi tembok kusam dan teralis karat berdebu. Kotor dan sepi.

Pecahan-pecahan botol berserakan di bawah emperan toko. Tong bercat kuning di depan toko sudah lapuk dimakan karat. Sampah berhamburan ke tepi jalan. Entah, milik siapa sampah-sampah itu. Tak pernah ada orang yang peduli.

Bocah dekil, ingusan dan berbaju kusam, berlari mengejar anjing kurus berbulu hitam di pelataran. Ia tertawa riang diterik siang. Melihat anjing itu takut padanya, kian keras tawa sang anak. 

Dari dalam ruko, terlihat perempuan muda keluar menjemur handuk dan buru-buru masuk kembali. Ia melihatku memandang ke arahnya. Mungkin ada perasaan malu, karena ia hanya mengenakan baju tidur transparan berwarna hitam. 

"Anak jadah! Masuk!" teriak perempuan itu dari dalam ruko. Ia memanggil anak kecil yang tengah asyik mengejar anjing. Kemudian anak itu berlari, di antara pecahan beling dan sampah berceceran lalu masuk ke dalam ruko. Tuhan melindungi langkah kaki mungilnya dari bahaya.

Merasa dicurigai, aku memilih beranjak dari sana. Lagipula aku sudah tak tahan diserbu lalat-lalat. Langkahku beranjak ke samping gang sempit di antara ruko-ruko tua itu. Dan aku menemukan kedai kopi. Bangunan itu hanya terbuat dari susunan seng dan papan bekas. 

"Bu, ada tisu basah?"

Aku mau membersihkan sepatu, nasib sial harus terperosok pada genangan. Air kotor berwarna hitam, luber dari selokan. Hingga merendam jalan setapak yang retak-retak. 

"Ada, tisu mejik tuh," ujar Ibu pemilik kedai, seraya mengarahkan telunjuk pada toples kaca di depanku. Kaget mendengar ucapan pemilik kedai, aku tak menjawab dan menggelengkan kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun