Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia Tanpa Papua, Apa Kata Dunia?

3 Mei 2021   15:36 Diperbarui: 3 Mei 2021   15:41 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Jayapura, Papua. Via travel.tribunnews.com

Pergulatan diplomasi, militer dan pergerakan tokoh-tokoh Papua, baik pro maupun kontra terhadap Indonesia berlangsung sepanjang tahun 1965 - 1969. Hingga hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 menambah kekecewaan mereka. 

Maka secara historis, de jure dan de facto, Papua bagian barat atau dahulu bernama Irian sudah final menjadi bagian Indonesia.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bersama beberapa kelompok lainnya yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia, saat ini mengambil narasi pelanggaran HAM di masa lalu dan aksi rasisme di masyarakat, sebagai argumentasi utama gerakannya. 

Dan tidak sedikit warga negara Indonesia yang bersimpati dan seolah-olah mendukung keinginan mereka. 

Kita semua tahu, separatis di masa awal kemerdekaan Indonesia sangat banyak jumlahnya. Bukan hanya Papua, beberapa wilayah terdekat dari Ibu Kota saja ingin merdeka. Ada yang berdasarkan ideologi, agama, rasial dan kepentingan negara asing. 

Sebutlah, Gerakan Aceh Merdeka, PKI, DI/TII, PRRI, Permesta, RMS, dan lain-lain.

Kasus pelanggaran HAM, ketimpangan ekonomi, sosial dan politik di seluruh Indonesia mencapai titik didih di masa kekuasaan Orde Baru. 

Padahal, Ir. Soekarno memandang masyarakat dan wilayah bagian barat Papua, sebagai bagian tubuh Indonesia itu sendiri. Jauh sebelum sumberdaya mineral di sana dieksplorasi dan diketahui. 

Di era Reformasi, otonomi khusus dan pemekaran wilayah kota, kabupaten dan provinsi menjawab itu semua. Memang belum sempurna, tetapi keberhasilan dari kebijakan pemerintah tetap harus menjadi tanggung jawab masyarakat setempat. 

Penuntasan kasus HAM di masa lalu, tak kunjung terungkap. Negara tak juga dapat menjamin, orang-orang yang terlibat dapat diseret ke penjara. Lantas, apakah alasan itu cukup untuk mendukung sebuah aksi separatis? 

Pembangunan di wilayah timur Indonesia meningkat sejak tahun 2014. Pendekatan pembangunan dan pendidikan menjadi senjata utama pemerintah selain pendekatan keamanan dan anti-separatisme di Papua. 

Namun bagaimana bisa berjalan lancar, jika pendekatan pembangunan dan pendidikan malah dihadapkan moncong senjata? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun