Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tulah II: Maut Dibalik Jeruji Besi

29 Oktober 2020   21:21 Diperbarui: 30 Oktober 2020   08:38 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tulah II (Ilustrasi olah pribadi)

Cerita sebelumnya silahkan klik ==> Tulah : Teror Berlumur Darah.

Sore itu, lembayung menaungi sebuah mobil tahanan yang melintas dari arah desa Ijoroyo menuju kota Bestari, tepat berhenti pada sebuah bangunan penjara dengan papan nama bertuliskan Lembaga Permasyarakatan 1A Kota Bestari.

Amir turun dari mobil tersebut dengan tangan yang terborgol, tampak beberapa petugas penjara menyambutnya dengan dingin.

Amir pun melangkah masuk ke dalam komplek penjara, langkahnya berhenti disebuah sel yang redup cahaya dengan tembok yang kusam.

"Kasus apa koe, sampe bisa masuk kesini?" Sapa seseorang yang berbaring santai diatas dipan.

"Bunuh wong" jawab Amir singkat.

"Piro?" Orang tersebut pun bangkit dari dipan dan mendekati Amir.

"Dua" jawab Amir yang mengambil duduk pada dipan disebelahnya.

"Hebat tenan kamu!!" Ucap orang tersebut sambil mengangkat kedua jempolnya.

"Siapa namamu? Namaku Asman" ucap Pak Asman, seraya menjulurkan tangannya hendak berkenalan.

"Aku Amir" ucap Amir yang menyambut tangan Pak Asman.

Pak Asman duduk pada dipan dan kembali berbicara pada Amir, "baru hari ini, aku satu sel dengan seorang pembunuh."

"Kamu kena kasus apa, Mas?" Tanya Amir, sambil membaringkan tubuhnya.

"Rampok, maling rumah orang kaya" jawab Pak Asman bangga.

"Rumah siapa yang kamu satroni, Mas?" Kembali Amir bertanya.

Pak Asman pun menjawab dengan lugas, "Rumah polisi!!."

"Apes tenan nasibmu Mas" ucap Amir.

Pak Asman mengangkat kakinya keatas dipan, lalu menunjukkan luka tembak yang dideritanya pada Amir.

"Aku bersyukur masih hidup, lihat kalo bolong ini ada dikepalaku" ucap Pak Asman.

"Lah kamu kenapa bunuh wong" tanya Pak Asman.

"Aku lupa Mas" Amir menjawab sekenanya.

"Kadang saat kalap kita tak bisa berpikir jernih, tapi bunuh sampe dua orang masa sampeyan lupa" ucap Pak Asman dengan heran.

"Aku tak mau ngomongin itu, Mas" Amir menjawab dengan nada serius.

"Yo wis" ucap Pak Asman mengakhiri.

Tak berselang lama, petugas sipir penjara datang membawa sebuah kantung kresek hitam, kemudian diapun berkata pada Amir, "Hei anak baru, ini ada kiriman dari keluargamu."

"Iya Pak" Amir menjawab seraya berdiri mendekat.

Dalam benak Amir berkecamuk berbagai pertanyaan, karena sejak mendekam dipolsek dan bolak balik ke pengadilan, emak tidak pernah datang menemuinya bahkan tak ada kabar berita dari emak selamanya ini.

"Malah bengong! Lekas ini ambil!" Bentak petugas itu mengagetkan Amir.

"Terimakasih Pak, apa orang yang ngirim bisa saya temui?" Amir bertanya sambil menerima kiriman berupa kresek hitam tersebut.

"Orangnya udah pergi!" Jawab petugas ketus.

"Emak saya, masa tak mau ketemu saya Pak" tanya Amir pada petugas.

"Emak ndas mu! Itu lelaki seumuran kamu yang kasih" jawab petugas sipir penjara sambil berlalu pergi.

"Nggih Pak" jawab Amir, seraya mengeluarkan sebungkus nasi dari dalam kresek hitam.

"Kamu enak, masih ada yang inget kamu dipenjara" celoteh Pak Asman yang mendekat penasaran, matanya melirik kiriman yang diterima oleh Amir.

"Waduh semur jengkol Mir, mantap tenan" kata Pak Asman yang melihat Amir membuka nasi bungkus.

"Buat Mas saja, aku sedang tak nafsu makan" ucap Amir seraya memberikan nasi bungkus tersebut kepada Pak Asman.


"Aku mana bisa nolak rejeki, tak ada rejeki saja aku rampok!" Kelakar Pak Asman sambil mulai memakan keping demi keping jengkol.


Pak Asman makan dengan lahapnya, sesekali melihat pada Amir yang tengah termenung menatap keluar kamar sel, dengan kedua tangannya menggenggam jeruji besi begitu eratnya.

**

Cahaya mentari sudah menyentuh lantai penjara, dari kisi-kisi jendela berteralis jeruji besi.

Pagi itu, suasana mulai riuh dengan derik pintu-pintu sel yang terbuka, seluruh tawanan keluar sel masing-masing untuk mengikuti senam kesehatan jasmani.

"Pak Asman, bangun Pak" ucap Amir yang melihat Pak Asman masih tertidur dengan posisi tengkurap.

Amir meletakkan handuk pada paku yang tertancap didalam sel setelah selesai mandi, diapun menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Pak Asman yang belum juga bangun dari tidurnya.

"Pak Asmaann!?" Kali ini amir memberanikan diri menepuk-nepuk tubuh Pak Asman.

Amir membalik tubuh Pak Asman yang sudah terbujur kaku, tampak wajah yang pucat pasi dengan mulut berbusa dengan kedua bola mata yang melotot, seperti hendak meloncat keluar. 

Amir tak dapat menahan rasa ngeri dan panik, saat ternyata Pak Asman sudah tidak bernyawa.


"Tolong... Tolong!!!!" Teriak Amir seketika itu juga.

Petugas sipir penjara yang tergesa-gesa datang, langsung melihat pada Pak Asman yang sudah tak bernyawa, kemudian membuka pintu penjara dan berteriak-teriak memanggil petugas lainnya.

Seketika tubuh Amir lemas, matanya menatap kosong pada pintu jeruji besi yang terbuka oleh petugas sipir. Dalam hatinya penuh rasa ketakutan pada rentetan kematian yang seperti tak berhenti mengejar dirinya.

Siang itu,diruang kantor dalam komplek penjara, petugas sipir penjara membawa seorang petugas kepolisian datang bersamanya.

Amir sudah terduduk pada kursi kayu dikantor itu, menatap tamu asing yang datang khusus untuk menemuinya.

"Amir, saya Kapten Trisno" ucap tamu tersebut memperkenalkan diri.

"Kamu kenal siapa yang kirim kamu nasi bungkus?" Kapten Trisno bertanya pada Amir.

"Tidak pak tidak" jawab Amir sambil menggelengkan kepala.

Kapten Trisno berdiri didepan amir dan kembali bertanya,  "kenapa kamu memberikan makanan itu pada Asman?"

Amir pun menjawab dengan lirih "saya sedang tak nafsu makan, Pak."

Tiba-tiba, datang seorang petugas polisi lain yang masuk kedalam ruangan itu dan Kapten Trisno terlihat berbisik-bisik dengan orang tersebut, lalu diapun melangkah dengan tergesa-gesa keluar kantor tersebut.

Petugas sipir penjara yang masih berada didalam ruangan, meraih tangan Amir dan membawanya serta sambil berkata, "ayo, kamu balik ke sel."

**

"Pak Lurah saya minta jangan mempersulit saya dan tamu saya!?" Dengan nada sedikit membentak, Kapten Suryo berbicara sambil membanting map berwarna biru muda pada meja disebuah ruang tamu.

Dalam ruang tamu didalam yang rumah besar ditengah desa Ijoroyo, tampak pak Lurah, Kapten Suryo dan seorang tamu dengan jas hitam tengah bercengkerama.

"Saya tidak mempersulit Pak, tapi surat tanah ini ahli warisnya masih hidup" jawab Pak Lurah, tangannya gemetar namun masih berusaha tenang.

"Amir sudah dihukum seumur hidup, sama saja sudah mati Pak, emaknya pun sudah tewas gantung diri" ucap Kapten Suryo sambil tangannya mengambil kopi diatas meja.

Pak Lurah mengambil map berwarna biru muda dan berkata, "tapi surat tanah ini sudah atas nama Pak Darmo, dan mendiang masih ada anak dikota, namanya Marwan."

Suasana hening sejenak, dalam hati Kapten Suryo mengumpat, "Darmo memang pantas mati! Pengkhianat!."

Tamu berjas hitam memecah keheningan dengan batuk kecilnya, lalu dia berbisik pada Kapten Suryo, "saya sudah dikejar investor Mas, mau tunggu berapa lama lagi."

"Tak lama Mas, kapan saya dan Kang Mas saya tidak komitmen sama sampeyan" ucap Kapten Suryo pelan.

Kapten Suryo dan tamunya pun keluar dari rumah Pak Lurah,  terlihat Feroza merah marun dan mobil sedan Mercedes berwarna gading meninggalkan rumah tersebut.

***

Disebuah pemukiman padat ditengah kota, terlihat Kapten Trisno tengah sibuk mengejar seseorang yang berlari kearah lorong sempit, diantara rumah-rumah papan beratap seng yang sudah berkarat.

"Mau kabur kemana kamu!!!" Kapten Trisno berteriak sambil melayangkan tendangan dengan keras, tepat menghantam dada orang tersebut.

"Ampun Pak, ampun" orang itu pun tumbang kena tendang.

Kapten Trisno berusaha membalik tubuh orang yang terkapar kena tendang dan berkata, "kamu orang yang saya cari!!."

"Jangan Pak, saya Marwan Pak, tolong Pak.. saya punya anak dan istri.. kasihan Pak," Marwan yang tersungkur mengiba pada Kapten Trisno.

"Lantas kenapa kamu tak mikir! Coba coba ngeracunin wong dalam penjara!" Bentak Kapten Trisno, sambil menindih dan memborgol tangan Marwan yang sudah tertelungkup ditanah.

"Orang itu sudah membunuh bapak saya" ucap Marwan terengah-engah tak berdaya.

"Bapak mu?!" Tak melepaskan tindihannya, Kapten Trisno bertanya pada Marwan.

"Mbah Darmo bapak saya" ucapnya pelan.

**

malam itu suasana sangat sepi, hanya sesekali terdengar bunyi laju kendaraan yang melintas didepan jalan, terlihat sebuah mobil Feroza merah marun terparkir didepan kantor Polres Bestari.

"Tumben Ndan kemari, ada angin apa?" Sapa petugas jaga yang melihat Kapten Suryo memasuki Polres Bestari.

"Kangen sama kantor lama, kamu jaga sendirian?" ucap Kapten Suryo sambil mendekati petugas jaga tersebut.

"Maklum Ndan." Petugas jaga pun menjawab singkat.

"Kemana komandamu Trisno?" Tanya Kapten Suryo.

"Pak Trisno habis kurungin orang, pergi cari makan katanya" jawab petugas jaga.

Kapten Suryo menyalakan rokok ditangannya dan kembali bertanya, "siapa yang dia tangkap? Loh ko belum diproses pengadilan?"

"Namanya Marwan bin Darmo, baru malam ini dia masuk Ndan" petugas jaga menjelaskan.

"Kasus apa?" Tanya Kapten Suryo.

"Mboh Ndan". Ucap petugas jaga sambil menggelengkan kepala.

"Yowis, saya balik kanan dulu, selamat bertugas."  Kapten Suryo pun berlalu keluar pintu, meninggalkan petugas jaga tersebut.

"Siap Ndan" ucap petugas itu sambil menyeruput kopi.

**

Seseorang masuk pada ruang tahanan polres Bestari mengendap-endap dan berdiri mematung didepan sel tempat Marwan tengah dikurung.

Sesosok pria dengan baju berwarna hitam dan bertopi hitam yang dipakainya, membuat wajah sosok tersebut tidak terlihat dengan jelas.

"Siapa kamu!?" Tanya Marwan, kemudian bangkit mendekati jeruji besi.

"Tak perlu tahu, kamu mau bebas bukan?" Ucap sosok tersebut seperti berbisik.

"Mau!" jawab Marwan.

"Kamu mau orang yang bunuh bapakmu mati?" Lebih jelas suara sosok tersebut bertanya.

Marwan semakin dekat dengan jeruji besi yang mengurungnya dalam tahanan, diapun kembali menjawab "Mau! Iya aku mau!."

"Tandatangani surat ini" ucap sosok tersebut sambil menyodorkan sepucuk kertas pada Marwan.

"Surat apa ini, saya tak ngerti!" ucap Marwan yang hendak mengambil kertas tersebut.

"Tandatangani saja Marwan!" Ucap sosok itu seraya menarik kepala Marwan dengan kasar.

Tangan yang kekar menarik kepala Marwan hingga menempelkan wajahnya pada jeruji besi, mulutnya disumpal dengan kain putih seperti kain kafan dan akhirnya Marwan pun dengan terpaksa menandatangani sebuah surat yang belum sempat dia baca.

Tak lama setelah kejadian itu, petugas jaga kantor polres Bestari yang sempat berbincang dengan Kapten Suryo, tengah membawa gelas kosong untuk kembali menyeduh kopi, saat dia melintas pada ruang tahanan, seketika itu dia mendapati Marwan yang sudah tewas bersimbah darah, dengan kain putih melilit kuat pada lehernya, tergeletak layu dan tergolek pada jeruji besi.

Darah Marwan yang keluar dari lehernya, membanjiri seisi ruang tahanan hingga membasahi sepasang sepatu petugas jaga yang terpaku seperti membeku bersama mayat Marwan dimalam yang dingin itu.

**
Dalam ruang sepi dipolsek Ijoroyo, terdengar Kapten Suryo sedang melakukan percakapan dengan handphone.

"Kang Mas, sudah beres?" Tanya Kapten Suryo pada seseorang melalui handphone.

"Sudahhh" pelan terdengar suara lirih dari dalam handphone tersebut.

"Hebat Kang Mas!" Seru Kapten Suryo setengah berteriak.

"Besok aku temui lagi Pak Lurah, Kang Mas" tutup Kapten Suryo dengan senyum yang mengembang pada wajahnya.


***

Dalam remang malam, Amir melihat emak sedang berdiri dibawah pohon beringin didepan rumah mereka, berkebaya putih susu dan memakai sanggul dengan bunga melati diatasnya.

Terlihat air mata emak menetes perlahan dipipinya, sambil terus menatap kaku kearah Amir. Lambat laun air mata emak berwarna merah, tak henti mengalir dan berangsur berubah menjadi darah, merah pekat yang menetes tak henti dari matanya.

"Trang..Trang ..Trang , bunyi tongkat petugas sipir penjara yang memukul-mukul jeruji besi, membangunkan Amir dari mimpinya.

Kemudian amir pun sudah kembali berada dikantor sipir, sama seperti sebelumnya duduk diatas kursi kayu dalam ruangan itu.

"Amir coba kamu ceritakan dari awal, kenapa kamu bisa sampai ada disini" Kapten Trisno menatap Amir dengan sorot mata yang tajam.

Dengan wajah lesu, Amir yang tengah terduduk layu diatas kursi kayu menatap dalam-dalam mata Kapten Trisno.

Kemudian dia pun menghela nafas panjang, dan berkata terbata-bata, "mah..mahkluk merah da..darah itu..."

Sementara diluar sana, sepasang mata merah menyala, menatap tajam pada bangunan penjara dari kegelapan malam itu, seakan bisa menembus tembok penjara dengan Amir sebagai mangsanya.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun