Mohon tunggu...
Indo Dutch
Indo Dutch Mohon Tunggu... -

Keep studying for better understanding

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Islam, Dakwah dan Bercopas Ria

6 September 2013   03:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:17 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah membaca tulisan yang cukup menarikm ini(http://kangaswad.wordpress.com/2012/04/26/muslimah-mantan-aktifis-demo-membeberkan-fakta/) perhatian saya tertuju terhadap beberapa point. Sebenarnya secara pribadi, saya termasuk orang yang suka menahan menahan diri dan enggan membahas tulisan yang hanya berdasarkan Copy Paste. Meskipun demikan, di tengah-tengah kesibukan dan juga mungkin dengan kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia yang cukup terbatas (maklum, sudah 23 tahun tidak pernah menulis dlm bahasa Indonesia, tapi kalu lisan tentunya masih lancar), saya mencoba memberi tanggapan terhadap tulisan CoPas di atas dan mungkin tulisan2 sebelumnya.

Pertama-tama penulis dan juga PENJIPLAK (baik penjiplak atau COPY-PASTER pertama dan seterusnya) rupanya kurang mengerti akan essensi demokrasi. Penulis mengatakan: “dalam demokrasi yang benar adalah suara terbanyak meskipun salah” . Ini jelas suatu PENDAPAT YANG SALAH. Demokrasi yang benar adalah demokrasi yang menghargai THE RULE OF LAW!!! Jadi suara terbanyak pun tidak ada harganya jika THE RULE OF LAW tidak diperhatikan, dihormati dan dilaksanakan dengan baik. Bukankah ADOLH HITLER pun dulu dipilih secara demokratis??? Tetap saja demokrasi di jaman Hitler tidak bisa dibenarkan. Demokrasi yang benar dengan The Rule of Law MENGHORMATI dan MENGHARGAI HAK2 KAUM MINORITAS. Inilah salah satu prinsip The Rule OF Law. Memang benar, demokrasi muncul di jaman ARISTOTELES (kurang lebih 384 – 322 sebelum masehi) yang dia sendiri pernah menimba ilmu kepada PLATO di Plato Academy di Athena. Tetapi Aristoteles juga dalam kehidupan berdemokrasi mengajarkan MODERATION and MODESTY (bahasa Indonesianya apa ya?). Aritoteles kemudian diundang oleh King Phillip II of Macedon untuk menjadi dosen di ”Royal Academy” dan menjadi guru pribadi anaknya yang akhirnya menjadi King Alexander The Great (Megas Alexandros 336 – 332 sebelum masehi). Setelah menaklukan Raja Darius III dari Persian Empire (Alexander kemudian di kenal di Persia dgn nama Sikander dan dlm bahasa Arab menjadi Iskandar) dan juga memperluas wilayah kekuasaannya sampai India Utara sampai, ke batas Sungai Indus, Aleaxander masih menerapkan ajaran “MODERATION and MODESTY“ dgn menghargai hak2 kaum minoritas. Untuk menyatukan wilyahnya “Under One Royal Family“ dia juga menikahi banyak perempuan dari kepala suku/raja yang sudah ditaklukinya

Saya jadi bertanya-tanya, apakah penulis menyembunyikan informasi ini atau memang penulis tidak tahu? Padahal penulis MENG-CLAIM: “ana juga pernah belajar politik di SMU“ . But this is not the issue here. The issue here is about RESPECTING THE MINORITY. Jadi bukan yg seperti penulis paparkan karena SALAH KAPRAH dan mengartikan demokrasi secara sempit.

Demokrasi dgn The Rule of Law tetap diterapkan di Eropa. Dengan konsep inilah KAUM MINORITAS dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai hak2 dan kewajiban yang dilindungi. Umat Islam di Eropa sebagai kaum minoritas bisa membangun masjid, bisa menduduki posisi yang cukup tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini yang Umat Islam pada umumnya dan di Indonesia khususnya, sering lupa jikalau posisi mereka ada di MAYORITAS secara KUANTITAS. Apakah umat agama lain bisa dengan mudah membangun misalkan gereja di Saudi Arabia, Mesir??? Kenyataannya, umat Kristen Koptik pun menjadi golangan yang tertindas di Mesir. Baru kalau gereja dibangun di Indonesia saja, Umat Islam karena merasa posisi dirinya ada di mayoritas, sudah berkoar-koar dan yang muncul akhirnya CONSPIRACY THEORY kristenisasi dengan dalil karena gereja dibangun di daerah pemukiman yang berpenduduk muslim. Kalau dalil ini diterapkan di Eropa, maka hanya ada dua kemungkinan: Pertama, tidak akan pernah masjid dibangun karena di mana masjid di bangun, penduduknya di mana-mana pun bukan mayoritas islam. Kedua, supaya masjid bisa dibangun di daerah mayoritas muslim, umat islam di Eropa harus dipindahkan secara masal, dialokalisasi dan yang terjadi adalah EXODUS.

Bukan suatu hal yang aneh, jika anda tiba di Bandara Internasional London Heathrow, petugas immigrasi mengenakan jilbab. Bukan suatu hal yang aneh, jika anda pergi ke Kementrian Imigrasi dan Naturalisasi di Kerajaan Belanda dilayani oleh perempuan yang berjilbab. Bukan suatu hal yang aneh, jika anda mendengar anggota Parlemen Belanda seorang muslimah bernama Khadijah Arib (http://en.wikipedia.org/wiki/Khadija_Arib dan http://www.tweedekamer.nl/kamerleden/alle_kamerleden/arib_khadija/index.jsp) atau seorang muslim bernama Tofik Dibi (http://en.wikipedia.org/wiki/Tofik_Dibi dan http://www.tweedekamer.nl/kamerleden/alle_kamerleden/dibi_tovek/index.jsp). Bukan suatu hal yang aneh kiha Wali Kota Rotterdam (Mayor of Rotterdam) seorang muslim bernama Ahmed Aboutaleb ( http://en.wikipedia.org/wiki/Ahmed_Aboutaleb ). Dan seterusnya….dan seterusnya….. Apakah kalau situasi sebaliknya, non-muslim tinggal di negara2 seperti Mesir, Saudi Arabia…..sebutlah satu per satu….. bisa mencapai dan menduduki posisi tersebut?

Tentu saja tidak ada The Rule of Law tanpa batas. Tidak ada hak2 asasi tanpa batas. Batasan inilah yang sudah kita sepakati bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai contoh, dilarang para hakim untuk menggunakan atribut2 keagamaan tertentu. Dan ini pun berlaku bagi umat semua agama, bukan hanya untuk umat Islam minoritas saja yang ada di Mayoritas non-Islam. Bagaimana perasaan anda, seandainya anda diadili di ruang sidang, sang HAKIM menggunakan KALUNG SALIB yang sangat menyolok mata??? Tentunya perasaan kita sebagai muslim kurang sreg! Itulah sebabnya mengapa para hakim sebagai REPRESENTANT NEGARA yang multicultural dan multireligious dilarang mengenakan atribut2 keagamaan. Lebih extreme lagi, para hakim di Kerajaan Inggris mengenakan WIG (bisa diketik di google foto English Judges Wig).

Sudah menjadi kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bertatanegara di Eropa, bahwasanya negara dan pemerintah bersikap NETRAL terhadap seluruh agama. Hal ini pun terbukti bahwasanya di sekolah2 pemerintah (baca; sekolah negri) juga tidak ada atribut2 keagamaan seperti salib semua kelas2 sekolah pemerintah, meskipun Kristen adalah mayoritas. Dengan demikian Umat Islam di Eropa pun merasa lebih “sreg” untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negri. Apakah Umat Islam di Indonesia sudah mengerti hal ini? Lain halnya kalau di Sekolah Islam Swasta (Islamic School), Sekolah Kristen Swasta (Christian School), Jewish School di Eropa. Sekolah2 ini bukan sekolah negri dan tidak dibiayai dari sistem pajak. Bahkan di negara Kristen katolik sekali pun, European Court of Human Right (http://www.echr.coe.int/ECHR/Homepage_En/) memerintahkan negara harus bersikap netral dan mengekuarkan salib2 dari seluruh sekolah negri (public school). Secara pribadi, tentu saja keputusan ini saya sambut dengan baik karena ini suatu bukti DEMOKRASI yang menerapkan The Rule Of Law, yang berarti MAYORITAS bukanlah segala-galanya. Orang tua muslim tentunya akan lebih “sreg” untuk menyekolahkan anak2 mereka di sekolah negri yg dibiayai dari system pajak pemerintah. Secara pribadi, saya merasa sangat kaget, setelah 20 tahun kembali ke SMA saya dulu, melihat perubahan bagaikan sekolah “Al Azhar“. Dari segi islami, tentu saja saya menyambut kemajuan ini secara positif. Tetapi dari segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan juga ditinjau dari segi “FAIRNEES and JUSTICE“ terhadap penganut agama lainnya, saya kurang “sreg“ karena sekolah ini adalah sekolah pemerintah yang masih mendapat subsidi dari pemerintah Indonesia. Di dalam hati kecil saya merasa umat islam di SMA saya dulu “Menjajah“ dan MENG-CLAIM dominansi mereka hanya atas dasar MAYORITAS tanpa memperhatikan hak2 kaum minoritas dan juga tanpa memperhatikan KUALITAS .

Pengalaman saya pribadi, Umat Islam di Indonesia khususnya, mungkin karena merasa dirinya ada di mayoritas, sering berkelakuan seenaknya sendiri. Kelihatan paradox dan bertentangan sekali tulisan di atas, apalagi dengan ajaran Islam. Di satu pihak menyatakan suara terbanyak tidak selalu benar. Di lain pihak Umat Islam kurang menghargai kaum minoritas di Indonesia karena merasa dirinya di seluruh Indonesia mayoritas, sekalipun mereka sebagai kaum minoritas yg berada ditengah-tengah mayoritas. Sebagai contoh: sewaktu saya berlibur di Bali dan menginap di hotel di daerah mayoritas Hindu, subuh2 terdengar bunyi adzan, yang meskipun merdu dengan tajwidnya, tetapi cukup memekakkan telinga. Selidik punya selidik dan setelah saya berinteraksi dengan masyarakat di kampung, saya tahu bahwa MUSLIM PENDATANG ke Tanah Hindu ini berada di kaum minoritas sekali (mungkin hanya ada 10 keluarga muslim di kampung). Tetapi meskipun demikian para penduduk Hindu tetap tenang2 saja dan tidak ribut2. Pertanyaan saya pribadi, apakah Umat Islam akan tenang2 saja, seandainya Lonceng Gereja berdengung pada hari minggu pagi di kampung yang mayoritas muslim? Yang keluar biasanya adalah KONSPIRASI TEORI dan KRISTENISASI dan lain sebagainya. Umat Islam kurang mengintrospeksi dan mengevaluasi diri. Padahal introspeksi dan evaluasi adalah kunci kemajuan. Kadang-kadang saya bertanya-tanya: kalau pastor atau pendeta Kristen bisa mengirim missi “dakwah” mereka sampai ke pelosok2 pedalaman amzonas di Brasil atau Kalimantan atau Irian jaya, kenapa para du’aat Islam tidak bisa??? Secara “sinis” saya menduga-duga: “oooohhh…..mungkinkah para du’aat sudah memikirkan perut mereka terlebih dahulu sebelum berangkat??? Di sana ada makanan halal nggak yah?”

Umat Islam di Indonesia sekarang, dalam dakwahnya, selalu SIBUK dan bahkan TERLALU SIBUK dengan urusan2 Siyyasah (politik). Menegakkan Daulah…..menegakkan Syariah….dsb….dsb… Teman2 mantan SMA saya yang orang Jakarta suka memberikan julukan DAKWAH UUP (ujung-ujungnya power). Bahkan lebih parah lagi, demi politik dan golongannya, Umat Islam saling mengkufurkan satu sama lainnya. Mungkinkah ini karena PERASAAN KETAKUTAN dan PERASAAN TIDAK TENANG di dalam hati Umat Islam itu sendiri, takut kalau posisi mereka sebagai mayoritas goyah dan goncang??? Saya melihat umat Hindu Bali, rasanya tenang2 saja, meskipun para PENDATANG MUSLIM ke Pulau Dewata ini sering berperilaku tidak baik. Mereka tidak merasa khawatir dengan kehidupan keagamaan mereka meskipun ada adzan keras-keras 5 kali sehari. Tetap saja pada umumnya mereka mempertahankan kepercayaan mereka dan tetap tenang dan tentram di hati. Teringat kembali juga saya pelajaran sejarah di German High School (Gymnasium) di mana di masa pemerintahan Queen Elizabeth I (REIGN: 1558 – 1603) terjadi perang antara Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Setelah lolos dari “aksi pembunuhan teroris” ratu kriten protestan ini menolak menjatuhkan hukuman hanya atas dasar agama (katolik) tanpa perbuatan “teroris” terbukti. She said to her privy council: FEAR CREATES ONLY FEAR (rasa ketakutan hanya akan menimbulkan rasa ketakutan), my Lords! I am not ignorant of the danger on my person, my Lords. But I WILL NOT punish my people for their BELIEVES!!! ONLY for their DEEDS!!! I am sure that the people of England love their queen. And my constant endeavor is to EARN that love!” Mungkin rasa ketakutan (Fear Creates Only Fear) inilah yang membuat kebanyakan umat Islam pada umumnya tanpa “Family Planning” berbondong-bondong “mencetak anak” sebanyak mungkin, kalau perlu dari istri yang berlainan, tanpa memperhatikan biaya pendidikan dan tingkat standard kehidupan anak. Untuk apa menjadi mayoritas tetapi kalau kebanyakan orangnya tidak berilmu? Bukankah Quality lebih utama daripada Quantity? Memang benar Innar Rizka MinAllah…..tetapi bukankah Allah juga memberikan kita otak untuk berpikir dan memberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan GOOD REASONING???

Karena TERLALU SIBUK dengan Siyyasah (politik) dan Daulah nya, Umat Islam di Indonesia lupa akan ESSENSI DAKWAH yang paling UTAMA: menegakkan TAUHID dan menghancurkan SYIRIK. Padahal Syrik dan “Praktek Perdukunan” masih tumbuh subur di Nusantara. Kalau TAUHID tidak ditegakkan terlebih dahulu, maka apa gunanya ISLAM dan DAKWAH ISLAM??? Padahal, TAUHID adalah essensi yang paling penting dalam Islam. Saking pentingnya sehingga kewajiban Tauhid tidak boleh lepas dari diri seorang muslim meskipun satu detik sekalipun! Meskipun MULUT seorang MUSLIM berkata lain karena mungkin dipaksa untuk mengatakan yang lain karena ancaman dsb, HATI nya harus tetap ber-TAUHID dan Tuma’niinah dengan Tauhid. Dakwah para Nabi (Al Anbiyaa wal mursaliim) pun di tengah-tengah penguasa tiran adalah menegakkan TAUHID. Di sini, bukannya saya bermaksud ingin mengurangkan arti kepentingan daulah itu sendiri, tetapi saya hanya ingin menekankan bahwa daulah itu bukanlah segala-galanya dan tujuan dari dakwah itu sendiri. Jadi mereka yg HANYA MEMFOKUSKAN daulah adalah orang2 yg MELAMPAUI BATAS. Juga melampaui batas mereka yg mengatakan segala-galanya tegaknya ISLAM hanya dengan DAULAH, padahal kita tidak diperintahkan kecuali hanya utk beribadah dan MENEGAKKAN TAUHID.

Memang betul dan saya setuju dengan penulis, dan para penjiplak (copy paster) seterusnya, bahwasanya bahwasanya Rasulullah tidak pernah membawa-bawa SPANDUK dan BERDEMO sambil meneriakkan slogan2 dan yel2 tertentu utk menjatuhkan Abu Jahal dan Abu Lahhab. Tetapi kenyataan ini bukan berarti bahwasanya semua hal yg tidak ada di jaman RasulAllah s.a.w. abad ke 6 masehi dan sekarang ada di abad 21, atau sebaliknya semua hal yang ada dan sekarang tidak ada, itu adalah BID’AH dan TASYABBUH (menyerupai org kafir). Apakah menghapuskan dan bahkan MELARANG perbudakan itu berarti Bid’ah? Apakah pria memakai celana panjang itu berarti Tasyabbuh jadi para lelaki harus mengenakan JALABI? Apakah mengenakan PECI (asal muasalnya budaya HINDU NEPAL) itu berarti Tasyabbuh?? Mana ada di Jawa atau di seleuruh Nusantara/Indonesia di jaman dulu dan di Kesultanan Melayu di Melakka sekalipun, orang mengenakan peci yg sering org Indonesia, presiden dan mentri2 pakai sekarang!!! Anehnya, di Indonesia sekarang, menteri yg beragama Islam kalo foto resmi mengenakan peci, dan mentri yg beragama kristen tidak. Orang pun berbondong-bondong ke mesjid memakai PECI. Bahkan kalau perlu, sholat sendirian di rumah pun memakai peci di kepalanya. Tetapi buat saya hal ini BUKAN Tasayabbuh menyerupai orang Hindu Nepal!!! Transisi dan pertukaran budaya itu adalah hal biasa. Apalagi di jaman GLOBALISASI sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun