Mohon tunggu...
Bradley Marlissa
Bradley Marlissa Mohon Tunggu... wiraswasta -

indobrad tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kita Peduli Hak Kekayaan Intelektual

25 Oktober 2010   08:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:07 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu tahu gak lagu ‘Rasa Sayange’ asalnya dari mana?” “Dari Ambon, Pak” “Itu kan kata kamu. Coba tanya sana sama Pemerintah Ambon, mereka punya gak catatannya?!”

Dialog ini terjadi antara DR Bambang Kesowo, SH, LLM, dan seorang mahasiswa pada event Dialog Interaktif yang bertajuk “Mahasiswa Peduli Hak Kekayaan Intelektual” yang digagas oleh Risa Amrikasari dan diselenggarakan bersama dengan IPAS Institute, Permahi, Indonesian Law Institute, Rose Heart Publishing dan Rose Heart Writers di Restoran Sindang Reret, Jakarta Selatan pada Jumat (22/Okt/2010) lalu. Acara dialog interaktif yang mulanya digagas oleh Risa Amrikasari dalam rangka ulang tahunnya ini menghadirkan DR Bambang Kesowo, SH, LLM, mantan Menteri Sekretaris Negara era Megawati sekaligus Pakar HKI, sebagai pembicara utama dan dihadiri oleh sekitar 200 mahasiswa hukum dari 17 universitas serta khalayak pemerhati hukum dan hak kekayaan intelektual; tak ketinggalan pula para wartawan dan blogger. Apa saja yang menjadi pokok pembahasannya?

Sesi dialog diawali dengan kuliah umum oleh Pak Bambang yang memaparkan pengertian dasar tentang Hak Kekayaan Intelektual dan, utamanya, konteksnya di Indonesia. Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) adalah hak yang lahir dari kemampuan intelektual manusia. Kemampuan yang dapat diberikan hak kekayaan intelektualnya harus berupa karya yang konkret, dapat dilihat, diraba, dan dirasa serta mempunyai fungsi; pemikiran yang baru sebatas ide belum dapat memenuhi persyaratan untuk memperoleh hak ini. Hak Kekayaan Intelektual terbagi atas 2 bagian besar, yaitu Hak Kekayaan Industri (paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman) dan Hak Cipta (karya literatur, pertunjukan, referensi, dan yang bersifat artistik). Setelah pemahaman umum mengenai HKI ini dipaparkan, perhatian para peserta beralih kepada problem-problem yang umum terjadi seputar penerapan hak ini. Ada beberapa hal yang saya himpun:

1. Paten oleh orang asing terhadap benda yang berasal dari dalam negeri

Isu terbaru yang masih panas diperdebatkan sekarang ini adalah temu lawak yang merupakan bahan baku utama pembuatan jamu tradisional yang dipatenkan oleh Amerika Serikat (baca beritanya di sini). Bahan bakunya berasal dari Indonesia namun riset ilmiahnya dikembangkan di luar negeri, dan hasil penelitian tersebut lalu dipatenkan oleh negara tempat risetnya. Pertanyaannya: Indonesia sebagai tempat asal temu lawak mendapat bagian apa? Jawaban Pak Bambang cukup mengejutkan saya: belum ada rezim / aturan internasional yang mengatur ini sehingga sampai sekarang dispute di banyak negara masih berlangsung dan praktik seperti ini akan tetap berjalan selama belum ada aturan internasional yang mengikatnya.

Pelajaran yang saya tangkap: para ilmuwan Indonesia tampaknya terlambat menyadari bahwa sumber daya alam kita akan dipatenkan oleh orang lain kalau kita tidak waspada melindunginya. Para ilmuwan kita tampaknya masih lebih tergiur melakukan penelitian dalam rangka mengejar gelar magister dan doktoral dan kurang memperhatikan perlindungan terhadap objek penelitiannya. Budaya Indonesia yang bersifat permisif terhadap orang asing harus dibarengi dengan kewaspadaan dalam melindungi sumber daya kita yang berharga.

2. Klaim budaya Indonesia oleh asing

Terkait dialog tentang lagu ‘Rasa Sayange’ di atas, Pak Bambang mengajukan argumentasi yang sederhana: “Mana buktinya? Kita orang hukum pasti bicara bukti, kan?!” Tepat sekali, lagu ‘Rasa Sayange’ yang kita klaim berasal dari Maluku tidak dapat dibuktikan karena pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki dokumentasi apa pun tentang lagu itu. Lagu tersebut akhirnya dapat ditemukan rekaman aslinya oleh masyarakat yang masih menyimpan piringannya yang berasal dari tahun 1950-an ketika lagu itu direkam oleh musisi asal Maluku dalam album yang diberikan sebagai kenang-kenangan bagi para peserta Asian Games IV Jakarta 1962 (baca ceritanya di sini). Apa yang menyebabkan kasus seperti ini banyak terjadi? Pak Bambang menyoroti kurangnya perhatian pemerintah kita dalam mendokumentasikan produk-produk budaya Indonesia. Beliau meminta agar pemerintah lebih serius memperhatikan warisan budaya dan kekayaan alam di Indonesia melaui tiga langkah dasar: identifikasi – inventarisasi – koleksi. Jika ketiga proses ini sudah dilaksanakan maka Indonesia akan memiliki dasar yang kuat ketika sebuah negara asing mencoba melakukan klaim atas warisan budaya tersebut. Memang, seperti disampaikan di awal, belum ada aturan internasional yang mencakup hal ini, namun paling tidak kita sudah harus mengaturnya di level nasional agar klaim kita tidak sekedar argumentasi tanpa bukti.

3. Maraknya pembajakan

Pak Bambang memaparkan fakta yang mencengangkan dari ASIRI: produksi rekaman legal pada tahun 2004 mencapai sekitar 39 juta kopi, sementara produk bajakan yang beredar di pasar mencapai sepuluh kali lipatnya. Sementara itu data tahun 2008 yang dikutip oleh Tempo Interaktif menyebutkan fakta yang lebih memprihatinkan lagi: terdapat 20 juta produk legal sementara yang bajakannya mencapai 560 juta. Persoalan pembajakan produk rekaman audio dan video ini seolah tidak ada habisnya dan cenderung dibiarkan begitu saja oleh aparat yang berwenang, terbukti dari maraknya penjual DVD bajakan yang merambah mal-mal di Jakarta dan kota-kota lainnya. Yang menjadi perhatian kita bersama adalah meski UU Hak Cipta telah ada di Indonesia, pada praktiknya sulit menerapkan peraturan di lapangan di mana produk bajakan telah berjalan seiring dengan produk legal dan telah menjadi hal yang “normal”. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa ada sebagian produser rekaman yang justru menjadi pelaku pembajakan dengan alasan pasar yang lebih menjanjikan dan tidak perlu membayar pajak dan royalti. Kemudian harga produk legal yang masih jauh lebih mahal juga menjadi alasan utama masyarakat untuk membeli produk bajakan.

Refleksi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun