Mohon tunggu...
Politik

Kosmopolitanisme Abad ke-21: Sebuah Utopia?

23 Mei 2016   15:25 Diperbarui: 23 Mei 2016   15:29 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hadirnya berbagai film dystopia* — dimana diperlihatkan pemerintahan yang mengopresi kehidupan masyarakat — berhasil melahirkan hasrat untuk menjadi seorang individu yang secara independen dapat mengubah dunia melalui the idea of heroism — gagasan dimana individu mampu untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik dengan selalu menjaga perdamaian dunia, seperti banyak dibawakan oleh cerita pahlawan dunia atau akrab dengan sebutan superheroes. Konsep individualisme yang diperlihatkan pada cerita dystopia membuat konsep dan teori normatif yang berkembang dari pemikiran reflektivis — yaitu etika internasional dan kosmopolitanisme — terlihat seksi karena dapat menimbulkan tanda tanya: apakah kosmopolitanisme yang dilandaskan oleh etika internasional dapat benar-benar terwujud di masa depan sebagai sistem internasional yang baru?

Dan apakah dengan sekadar melihat konsep individualisme yang ditawarkan oleh cerita dystopia, kosmopolitanisme dapat benar-benar terwujud?

Etika internasional dilandaskan dari pertanyaan bahwa bagaimana seharusnya masyarakat dunia sebagai entitas politik yang dipisahkan oleh batas wilayah negara, dapat memperlakukan ‘insiders’ dan ‘outsiders’dengan cara dan prinsip yang sama karena setiap manusia merupakan individu yang lahir dengan hak asasi yang sama. Menurut John Rawls dalam The Law of People, manusia merupakan individu yang bebas dan independen — dan karenanya individu lainnya harus menghormati hak tersebut; memiliki hak untuk melakukan self-defense, tetapi tidak dengan berperang karena perang dapat merebut hak asasi individu lainnya; dan memiliki tugas untuk membantu individu lain yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, yaitu kondisi yang dapat mencegah mereka mendapatkan hak politik dan sosial secara layak. Prinsip etika yang berlaku secara internasional kebanyakan lahir dari nilai-nilai kultur dan agama yang dianggap sebagai world’s moral guidance — walaupun tidak semua moral conduct lahir dari kedua nilai tersebut.

Moral conduct yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan dunia sebenarnya telah digambarkan dalam filsafat kosmopolitan yang telah ada sejak zaman filsafat Yunani, teologi Kristen, sampai kepada pandangan kritis yang mengangkat republikanisme dan liberalisme oleh Immanuel Kant. Sampai akhirnya, kosmopolitan mendapat status –isme pada akhir Perang Dingin. Kosmopolitan menempatkan seluruh individu sebagai masyarakat dunia yang berkewajiban untuk terus menjaga perdamaian dunia dengan menghindari penderitaan yang dapat membuat individu yang terlibat kehilangan berbagai haknya— seperti perang dan kemiskinan. Kosmopolitan sebagai –isme menganggap bahwa manusia harus dianggap dan diperlakukan sebagai single moral community yang memiliki moral priority di atas kepentingan nasional ataupun kumpulan negara yang tergabung dalam organisasi regional maupun internasional. Kosmopolitanism menganggap bahwa dalam menjaga perdamaian dunia, kita sebagai masyarakat dunia harus membuat tatanan dan aturan yang mempertimbangkan prinsip moral dan etika.

Jika dilihat dari diakuinya konsep individualisme, pandangan kosmopolitanisme tidak utopis dalam sistem internasional di abad ke-21, mengingat hadirnya seorang individu yang tidak memiliki kepentingan apa-apa, tetapi dapat memperjuangkan hak pendidikan bagi masyarakat dunia, khususnya untuk gadis dan anak-anak — bahkan karena keberaniannya tersebut, ia dilindungi oleh pemerintah negara yang bukan merupakan kebangsaannya, dia adalah Malala Yousafzai.

Malala Yousafzai merupakan seorang gadis asal Lembah Swat, Pakistan yang terkenal dengan kampanye pendidikannya melalui tulisannya di BBC Urdu mengenai kehidupannya di bawah pengaruh Taliban — bagaimana ia dan keluarganya berjuang bagi gadis-gadis yang dilarang bersekolah oleh Taliban di daerah tersebut. Pada Oktober 2012, Malala Yousafzai menjadi target bagi para Taliban, dia ditembak di kepalanya sepulang sekolah. Dengan keajaiban Tuhan, Malala dapat bertahan hidup dan melanjutkan kampanye pendidikannya.

Untuk mengapresiasi keberanian dan advokasinya, Malala Yousafzai dianugerahi National Youth Peace Prizepada tahun 2011 dan International Children’s Peace Prize di tahun 2013. Dalam sejarah penganugerahanNobel Peace Prize, ia merupakan orang termuda yang pernah dinominasikan. Ia juga termasuk dalam daftarTime Magazine’s Person of the Year dan menerima berbagai penganugerahan lainnya. Malala Yousafzai melanjutkan kampanyenya melalui Malala Fund, sebuah organisasi nonprofit internasional yang berinvestasi melalui pendidikan berbasis masyarakat atau komunitas dan mendukung advokasi pendidikan di seluruh bagian dunia.

Namun, apakah kemunculan Malala Yousafzai dapat memberikan harapan bagi kehadiran kosmopolitanisme di masa depan? 

Jumlah para pengungsi yang semakin meningkat setiap harinya membuat Angela Merkel sebagai Kanselir Jerman mencari berbagai cara agar dapat menyelesaikan masalah ini. Lahirnya protes dari warga Jerman untuk tetap menampung pengungsi tersebut for the sake of humanity and moral conduct diikuti dengan peningkatan protes dari para Neo-Nazi yang ‘meminta’ Jerman untuk bertindak sebagai negara yang harus menjaga kedaulatannya dan menyejahterakan rakyatnya dengan cara mengalokasikan dana pengungsi untuk dana pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Hal tersebut membuat Kanselir Jerman dan beberapa peimpin negara Eropa lain yang ‘terciprat’ isu ini mencari jalan lain dalam menyelesaikan krisis pengungsi paling parah dalam komunitas internasional semenjak berakhirnya Perang Dunia II menurut Time.

Sebagai tempat transit utama bagi para pengungi Suriah dan negara lainnya—dengan empat perlima lebih dari 615.000 orang, Turki dianggap sebagai aktor kunci yang dapat menyelesaikan dilema Jerman dan negara Eropa lainnya — bagaimana tetap menampung para pengungsi for the sake of humanity and moral conduct, tetapi tetap dapat mempertahankan kedaulatan dan berfokus pada kesejahteraan rakyat mereka. Akhirnya, Angela Merkel pun meminta bantuan Pemerintah Turki dalam menangani permasalahan ini. Di sisi lain, kondisi domestik dari Turki sendiri juga menghadapi permasalahan yang sama, yaitu 2,2 juta pengungsi Suriah yang mengungsi di Turki. Namun, for the sake of humanity and moral conduct, Turki bersedia menampung para pengungsi yang datang — bahkan dianggap sebagai satu-satunya negara dalam kawasan tersebut yang memiliki sumber daya dan bersedia untuk membantu para pengungsi yang datang. Turki bersedia untuk membantu Jerman serta negara Eropa lainnya, tetapi apakah bantuan tersebut didasari oleh etika internasional dan moral conduct?

Uni Eropa menjanjikan bantuan keuangan untuk Turki sebesar 1 milyar euro, tetapi Turki meminta lebih (yaitu sebesar 3,4 milyar euro) karena Turki akan mengeluarkan dana yang lebih dalam membantu memberikan fasilitas hidup kepada pengungsi di Jerman dan negara Eropa. Merkel bahkan bersedia untuk menambahkan dana seperti yang diminta oleh Turki. Tidak hanya itu, Merkel bernegosiasi dengan Endorgan sebagai Presiden Turki untuk membawa topik mempertimbangkan masuknya Turki ke Uni Eropa dalam pertemuan negara-negara Uni Eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun