Mohon tunggu...
Politik

Akui atau Ganyang: "Natuna adalah Milik Indonesia"

18 April 2016   10:01 Diperbarui: 18 April 2016   15:14 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Klaim Cina yang memasukkan sebagian wilayah perairan laut kepulauan Natuna, ke dalam peta wilayah mereka sangat tidak mendasar. Walaupun menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hong Lei yang mengatakan bahwa “Pihak Cina tidak keberatan atas kedaulatan Indonesia di Kepulauan Natuna”. Pada kenyataannya pernyataan tersebut berbanding terbalik, Republik Rakyat Cina memperbaharui peta dengan garis putus-putus (nina dash line)[1] melintasi wilayah Natuna.

Pada tahun 2009 lalu, klaim Cina terhadap wilayah Laut Cina Selatan telah disampaikan ke Sekjen PBB, tetapi Cina sama sekali tidak bisa mengklaim Kepulauan Natuna sebab jarak Kepulauan Natuna dengan Pulau Spratley lebih dari 400 mil laut atau dua kali luas ZEE. Ini berarti ada pengakuan Cina terhadap legitimasi Indonesia atas ZEE yang berada dalam garis imajiner wilayah yang diklaim Cina.

Ide masyarakat internasional mengenai penarikan lebar laut wilayah, zona tambahan, ZEE, landasan kontinen, dan konsepsi archipelagic state telah tertuang dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Secara rinci UNCLOS 1982 menetapkan hak dan kewajiban, kedaulatan, hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara-negara dalam pemanfaat dan pengelolaan laut. Selain mempertahankan berbagai zona maritim, UNCLOS 1982 juga menciptakan suatu rezim untuk dasar laut samudera dalam di luar yurisdiksi nasional yang dikenal sebagai international sea-bed area yang ditetapkan sebagai common heritage of mankind (warisan bersama umat manusia). Sampai dengan bulan Oktober 2014 telah mecapai 166 ratifikasi, termasuk kedalamnya ratifikasi oleh beberapa negara maju seperti Rusia, Inggris, dan Canada. Disamping sejumlah besar negara-negara berkembang tercatat juga sebagai hampir seluruh negara anggota Europe Union, Cina, Jepang, India, Australia, Brazil, Argentina, dan Indonesia.

Indonesia menjadi negara ke-26 yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 sejak tahun 1986. Implementasi Indonesia terhadap UNCLOS 1982 dengan disahkannya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982, yang pada intinya menyatakan bahwa Indonesia adalah kepulauan nusantara secara geografis merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan memiliki luas laut sebesar 5.8 juta km² yang terdiri dari laut teritorial dengan luas 0.8 juta km², laut nusantara 2.3 juta km² dan ZEE 2.7 juta km², serta memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai 95.181 km.[2]

Pada tiap rezim perairan Indonesia ditetapkan kedaulatan dan hak berdaulat yang menjadi batas-batas wilayah perairan Indonesia, yaitu:

(1) 12 mil laut dari garis pangkal, merupakan laut teritorial.[3] Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut tersebut. Artinya, Indonesia memiliki hak untuk mengamankan wilayah melalui penerapan:

a) Kedaulatan (sovereignty);

b) No Right of Overflight;

c) Hak lintas damai (right of innocent passage); [4]

d) Hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea lane passage);

e) Hak lintas transit (right of transit passage). [5]

 

(2) 24 mil laut dari garis pangkal, merupakan zona tambahan.[6] Di zona ini, Indonesia dapat melakukan pengawasan yang diperlukan untuk:

a) Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam hal bea cukai, fiskal, imigrasi, atau sanitasi;

 

(3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)[7] adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rezim hukum khusus berdasarkan hak-hak dan yurisdiksi Negara. Namun, perlu untuk diperhatikan juga hak-hak dan kewajiban Negara lain. Dalam ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal. Dalam ZEE, Indonesia memiliki :

a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona ini, seperti produksi energi dari air, arus, dan angin;

b) Yurisdiksi Indonesia berkenaan dengan:

- Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalansi, dan bangunan;

- Riset ilmiah kelautan;

- Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

 

Jika dilihat dari kacamata politik dan hukum mengenai persoalan klaim ini akan berdampak pada kedaulatan dan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Karena selama ini Indonesia memiliki sikap untuk tidak memihak maupun turut serta secara aktif dalam konflik Laut Cina Selatan. Namun, dengan nina dash line yang tidak jelas dapat menimbulkan persinggungan dengan hak berdaulat Indonesia di Kepulauan Natuna, maka Pemerintah Indonesia telah meningkatkan kekuatan militer di Kepulauan Natina. Presiden RI, Joko Widodo telah memerintahkan pesawat tempur SU-27, SU-30, F-16, P3-C, pengawas maritim, dan pesawat antikapal selam ke pulau-pulau sekitar natuna. Selain itu, Presiden menambah pasukan ke pangkalan militer disana untuk menunjukkan tekad Indonesia melindungi wilayah Kesatuan Republik Indonesia, khususnya ZEE di Natuna.   

Ketegangan semakin memanas karena Pemerintah Republik Rakyat Cina sengaja menghindari diskusi terkait isu ZEE ini. Beberapa pengamat berpendapat bahwa Cina menggunakan strategi Fabian[8] kepada Indonesia sehingga masalah ZEE seolah menguap. Sebelumnya, Filipina telah membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional di Den Haag, namun gugatan tersebut ditolak karena yurisdiksi masalah ini.

Dalam Pasal 287 UNCLOS 1982 mengatur tentang alternatif dan prosedur penyelesaian sengketa (dispute settlement) bagi negara-negara yang berhubungan dengan wilayyah zona kelautan. Terdapat dua bentuk alternatif penyelesaian sengketa dimana negara-negara diberi kebebasan memilih bentuk penyelesaian mana yang mereka anggap paling tepat dalam sengketa yang dihadapi. Adapun bentuk alternati penyelesaia sengketa dalam kerangka UNCLOS 1982, adalah:

(a) Penyelesaian Sengketa Secara Damai

UNCLOS 1982 mewajibkan negara-negara menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 ayat (2) UN Charter. Disini negara-negara diberi kebebasan untuk memilih bentuk prosedur penyelesaian sengketa dengan menggunakan sarana-sarana penyelesaian sengketa sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (1) UN Charter, sekalipun demikian ketentuan dalam Pasal 33 UN Charter tidak meniadakan kemungkinan para pihak untuk memilih bentuk penyelesaian sengketa secara damai lainnya sepanjang para pihak sepakat untuk itu. Jika cara dan prosedur yang ditentukan pada Pasal 33 UN Charter tidak mampu menyelesaikan sengketa diantara para pihak, maka salah satu pihak dapat mengundang pihak lainnya untuk konsiliasi. Prosedur  penyelesaian sengketa secara damai dapat dikatakan berhasil adalah apabila pihak yang terlibat sengketa secara bersama-sama menyatakan menerima dan puas akan hasil rekomendasi atau kepustusan prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan.

 

(b) Penyelesaian Sengketa Dengan Compulsory Settlement

Dalam hal tidak tercapai suatu kesepakatan dalam penyelesaian sengketa secara damai, maka para pihak dapat menggunakan prosedur wajib yang menghasilkan keputusan yang mengikat. Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) UNCLOS 1982, saat ditandatangani, diratifikasi, atau aksesi, sebuah negara bisa membuat pernyataan memilih satu atau lebih metode penyelesaian sengketa yang dalam UNCLOS. Bab XV khususnya pasal 287 UNCLOS 1982 menyediakan empat forum yang dapat dipilih untuk menyelesaikan sengketa, yakni:

a) International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS);

b) International Court of Justice (ICJ);

c) Arbitral Tribunal;

d) Special Arbitral Tribunal.

Apabila Pemerintah Cina tetap tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UNCLOS 1982, Indonesia akan membawa Cina ke International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) karena Kepulauan Natuna merupakan wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang telah diakui oleh UNCLOS 1982 dan telah didepositkan di Sekjen PBB, tanpa ada satu negara pun yang mengecualikannya. Selain itu, Indonesia juga akan membawa dasar hukum yang kuat atas kepemilikan semua pulau di Natuna dalam Deklarasi Djuanda Tahun 1958.  

 

 

 

Sumber:

[1] Nine Dash Line merupakan garis imajiner dimana wilayah dalam garis tersebut merupakan daerah yang menjadi kepemilikan dari Cina.
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, hal. 29.
[3] United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Ps. 2 jo Ps. 3.
[4] Lintas dimaksudkan harus peaceful, continuous, expeditious, dan suspendable.
[5] Ibid., Ps. 37 jo Ps. 38.
[6] Ibid., Ps. 33.
[7] Ibid., Ps. 56 jo Ps. 57.
[8] Strategi Fabian berasal dari nama Quintus Fabius Maximus Verrucosus, Panglima dari Kartago. Strategi ini membiarkan musuh terlena sementara dia sendiri memutus jalu logistik untuk melemahkan pertahanan lawan

 

 

Written by: Atika Mega Chairina.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun