Mohon tunggu...
Indira Abidin
Indira Abidin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Bahlul 3: Nikmat? Bencana? Sama Saja Kok

25 Juni 2018   11:27 Diperbarui: 25 Juni 2018   11:48 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali pada kisah Syeikh Bahlul di Irak.

Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, Bahlul selalu berpakaian urakan, sobek dan kotor. Gembel, kalau kata orang Jakarta. Tingkah lakunya pun aneh. Ia merenung tentang Allah dan hakikat hidup seorang diri, sehingga ia kerap ketawa sendiri, senyum sendiri atau menangis sendiri. Karenanya ia menjadi olok-olok anak-anak di pasar Bagdad. 

Suatu hari anak-anak ini melempari Bahlul dengan batu sampai Bahlul berdarah-darah. Pakainnya pun berlumuran darah. Seperti orang gila, ia pun hanya tersenyum dan berkata, "Bagaimana mungkin, seseorang yang ridla
 dan puas dengan Allah mengeluhkan sesuatu?"

Dan seperti yang dilakukan pada hamba-hamba kecintaanNya, Allah pun kemudian menguji kata-kata ini.

Melihat sikap anak-anak di Bagdad ini, Bahlul merasa ingin mencari kota lain yang lebih bersahabat. Maka ia pun pergi ke Bashrah. Berjalanlah ia ke Basrah dengan kondisi berdarah-darah. Ia sampai di sana di malam hari. Kehausan, kelaparan, kedinginan, Bahlul tak punya tempat untuk tidur. Di gerbang kota dilihatnya seseorang terbaring di dekat gerbang kota, berbungkus selimut. Dibaringkannya tubuhnya di sisi tubuh berbungkus selimut ini, berharap mendapat kehangatan darinya. Tidurlah ia dengan nyenyak.

Tak disangka-sangka oleh Bahlul, ternyata tubuh berbungkus selimut itu adalah mayat yang baru saja terbunuh. Karena Bahlul bajunya penuh darah, maka ia pun kemudian dituduh sebagai pembunuhnya. Bahlul pun tak bisa membela diri. Ia tak bisa membuktikan bahwa ia tak bersalah. Faktanya ia ada di samping jasad tersebut. Pengadilan pun kemudian memutuskan ia bersalah. Maka ia pun dibawa ke tiang gantungan.

Bahlul menerima hukuman itu dengan tenang. Ia digiring ke alun-alun kota. Penduduk pun ramai berkumpul ingin menyaksikan proses eksekusi Bahlul. Bahlul kemudian berdoa dengan khusuk sebelum proses eksekusi dimulai, "Wahai Tuhanku, ku tak bersalah dan hampir saja mati karena  kejahatan yang tak kulakukan. Tapi aku tak bersedih, marah atau benci padaMu.

Kau tahu siapa yang membunuh  dan yang terbunuh, Kau juga tahu mengapa segala sesuatu terjadi. Kini, aku sadar bahwa Kaulah yang menuntunku pergi meninggalkan Baghdad dan datang ke kota ini. Kaulah juga yang menuntunku tidur disamping mayat itu. Kaulah yang meninggalkanku di sana dan Kaulah yang membuat polisi itu pun kemudian menemukanku. Karena itu lakukanlah apa yang Kau kehendaki atas diriku, sebab Kau dan hanya Kau sajalah di belakang semua ini."

Setelah Bahlul berdoa, proses eksekusi pun dimulai. Tiba-tiba seseorang berteriak dari tengah kerumunan massa di alun-alun itu. Ia berteriak bahwa ialah sesungguhnya pembunuh mayat yang terbungkus selimut, bukan Balul. Bahlul tak bersalah dan harus dibebaskan. Eksekusi harus dibatalkan.

Semua orang terkejut. Orang itupun kemudian dibawa ke muka hakim bersama Balul untuk menceritkan duduk perkara sebenarnya. ia pun bercerita bahwa ia melakukan hal itu karena tiba-tiba ia seperti masuk mulut naga, yang mengancam akan menelannya kalau ia tidak mengaku saat itu juga.

Sang Hakim terkejut. Apa ini? Kok bisa? Ditengoknya Bahlul. Dari awal sampai saat itu Bahlul tetap tenang dan tampak bahagia. Ditanyakannya hal itu kepada Bahlul, kenapa ia tak menolak hukuman saat tahu bahwa sesungguhnya ia tak bersalah?

Masih dengan gaya khasnya, Bahlul berkata, "Ketenangan hamba bukanlah karena merasa yakin bahwa hamba tidak akan digantung. Hamba yakin bahwa apa pun yang telah ditetapkan Allah adalah yang terbaik, dan memang demikian seharusnya. Jadi, hamba benar-benar tunduk dan pasrah pada kehendakNya. Pada gilirannya, hal ini membuat hamba demikian damai dan tenang."

Ia pun kemudian berkata pada Hakim, "Jika Dia memilih memberi hamba racun pahit dan mematikan, maka hamba akan menerimanya sebagai gula yang manis dan anugerah dariNya."

Kisah Syeikh Bahlul ini diambil dari kitab Mushibatnama oleh Fariduddin Athtar. Inilah contoh yang sangat baik mengenai sikap berserah diri 100% pada Allah. Hanya Allah lah wakilku, cukup Allah saja aku berserah diri.

Luar biasa.  Inilah kisah seorang hamba Allah yang yakin bahwa apapun yang terjadi berasal dariNya, dan pasti yang terbaik. Allah dicintainya lebih dari segala apapun yang ada didunia. Dan ia yakin sepenuhnya bahwa Allah mencintainya lebih dari segalanya pula. Maka ia pun bahagia atas apapun yang terjadi, karena yakin bahwa semuanya ada berkat cinta seorang yang tercinta dan penuh cinta.

Nah, apa yang bisa kita ambil dari sini?

Di manakah level kita saat ini dalam hal kedekatan kita padaNya? Bagaimana sikap berserah diri kita padaNya? Sejauh mana kita yakin bahwa semua hidup kita sudah diaturNya? Dan semua didasari pada cintaNya?

Mungkin semua bisa kita evaluasi dari sikap ketenangan kita. Seberapa jauh kita merasa damai pada hati, pikiran dan jiwa kita? Tercermin dari tubuh yang benar-benar sehat lahir bati? Seberapa jauh kita dari galau dan khawatir?

Nikmat dan bencana semua menjadi sama. Karena semua adalah karunia penuh cinta dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang menyayangi kita lebih dari ibu kandung kita sekalipun.

Bagaimanakah kita bisa belajar dari kisah Balul yan satu ini? Bagaimana kita bisa #NaikKelas dari kejadian ini? Agar hidup selalu damai, aman dan penuh cinta?

Sumber: Ketika Bahlul Akan Digantung oleh Nadirsyah Husein

Ditayangkan juga di  Bahlul 3: Nikmat dan bencana sama saja, jadi biasa-biasa saja untuk keduanya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun