Stigma sosial terhadap perempuan masih menjadi isu yang sering terjadi di masyarakat. Mulai dari anggapan bahwa perempuan lajang di usia matang terlalu pemilih, perempuan yang menikah kehilangan kebebasan, hingga perempuan yang belum memiliki anak dianggap belum sempurna sebagai istri.
Novel Three Sisters karya Seplia menghadirkan refleksi atas stigma-stigma ini melalui kisah tiga bersaudara: Rera, Gina, dan Yumi. Rera, si anak sulung, mendapat tekanan karena belum menikah di usianya yang matang. Gina, si anak tengah, merasa pernikahan dan anak membatasi kebebasannya. Sementara itu, Yumi, si anak bungsu, harus menghadapi mertua yang tak menyukainya karena belum memiliki anak setelah tiga tahun menikah. Ketiganya berhadapan dengan stereotip gender yang membuat hidup mereka semakin sulit. Bagaimana mereka menghadapi stigma yang ada?
Keunikan premis cerita: mengangkat stereotip gender dalam masyarakat
Sebagai novel metropop, Three Sisters mengangkat tema yang dekat dengan kehidupan nyata. Kisah tiga bersaudara ini mencerminkan bagaimana perempuan terus dibebani dengan ekspektasi sosial yang beragam.
Rera, perempuan lajang di usia matang, dianggap terlalu pemilih dan ditakut-takuti dengan label perawan tua.
Gina, yang sudah menikah dan memiliki anak, justru merasa terjebak dalam kehidupan rumah tangga dan merindukan kebebasan.
Yumi, yang belum dikaruniai anak, harus menghadapi tekanan dari mertua yang menuntutnya untuk segera hamil.
Ketiga karakter ini mewakili realitas yang banyak dialami perempuan di berbagai lapisan masyarakat. Novel ini memberikan perspektif berbeda tentang bagaimana setiap perempuan menghadapi stigma yang melekat pada mereka.
Pesan moral yang realistis
Salah satu kekuatan Three Sisters adalah pesan moral yang disampaikan secara realistis. Novel ini mengingatkan bahwa kita cenderung melihat kehidupan orang lain lebih baik dibandingkan kehidupan kita sendiri, sebuah konsep yang dikenal dalam budaya Jawa sebagai Wang Sinawang—melihat kehidupan orang lain tanpa benar-benar memahami perjuangan di baliknya.
Baca juga: Review Novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya Karya Keigo Higashino: Melintasi Masa Melalui SuratKadang beberapa orang itu lucu. Tidak menyadari bahwa apa yang mereka miliki saat ini, mungkin sedang diidam-idamkan oleh orang lain. Lantas kenapa mereka malah memilih melepaskan sesuatu yang telah mereka genggam, yang mana orang lain tak punya? (Hlm. 224)
Selain itu, novel ini menekankan pentingnya komunikasi dalam pernikahan. Bukan hanya sekadar menjalani pernikahan karena tuntutan sosial, tetapi bagaimana pasangan harus bekerja sama dan saling memahami agar hubungan tetap harmonis.