Mohon tunggu...
Kurnia Indasah
Kurnia Indasah Mohon Tunggu... Lainnya - A dreamer

1992er. Penikmat kopi, musik, dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Label Halal dan Identitas Mualaf: Komodifikasi Agama dalam Iklan Kosmetik

19 April 2020   03:54 Diperbarui: 19 April 2020   04:10 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Seorang perempuan, mengenakan jilbab dan pakaian panjang, menutulkan krim pencerah ke permukaan wajahnya yang memang sudah cerah, lalu di latar belakang, narator tak kasat mata menuturkan "...halal, buat wajahmu 1, 2, 3 kali lebih bright seketika".

Perempuan ini adalah Ayana Jihye Moon, selebgram muslim asal Korea Selatan yang didapuk sebagai brand ambassador kosmetik Wardah sejak 2019, dan adegan di atas adalah cuplikan iklan Wardah Perfect Bright Tone Up Cream yang tayang di televisi dan juga diunggah ke kanal Youtube WardahBeauty.

Sebenarnya, tak ada korelasi antara 'halal' dengan kemampuan krim ini untuk membuat wajah lebih cerah. Namun, mengapa copywriter merasa perlu memasukkan kata ini? Terlebih kata 'halal' bukan hanya ditemukan pada iklan krim pencerah, tapi juga produk lain yang dipunyai Wardah seperti pelembab dan lipstik. Lantas, mengapa 'halal' harus didukung pula dengan model yang berhijab?

Fenomena inilah, yang dalam istilah penelitian cultural studies, didiskusikan sebagai komodifikasi agama.

Pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto, bukan hanya iklim demokrasi, sikap beragama masyarakat pun disebut-sebut mengalami perubahan. Dikatakan oleh Heriyanto dalam Maulidiyah (2018), ambruknya Orde Baru memunculkan yang disebut gelombang Islamisasi, suatu gugusan baru kelompok muslim muda yang didominasi kelas menengah, yang berhasrat menunjukkan identitas ke-Islaman pada segala aspek diri. Salah satunya melalui konsumsi barang-barang yang tersertifikasi 'halal'.

Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat potensial untuk memperdagangkan produk halal. Menurut laporan State of The Global Islamic Economy Report 2015/2016, Indonesia menempati peringkat pertama untuk konsumsi produk halal, yaitu US$ 157 miliar atau sekitar Rp. 2.041 triliun pada 2014 (Syawal, 2019). Apalagi, mulai Oktober 2019 lalu, Jaminan Produk Halal (JPH) wajib dikantongi oleh setiap produk makanan, minuman, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Dipandang dari kacamata konsumen (muslim), hal ini bisa dipandang sebagai tawaran untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan mereka akan produk-produk halal. Namun, dari sudut pandang industri, hal ini tak lebih dari pemanfaatan simbol-simbol Islam untuk strategi melariskan produk. Atau dengan kata lain, komodifikasi.

Komodifikasi merupakan salah satu sudut segitiga ekonomi politik yang digagas Vincent Mosco (2009). Sederhananya, komodifikasi adalah cara media untuk mengubah segala hal menjadi komoditas, atau sesuatu yang dapat diperjualbelikan dan mendatangkan keuntungan. Menurut Mosco, komodifikasi dapat dilakukan pada tiga sektor, yakni konten, audiens/penonton, dan pekerja. Kebutuhan akan barang-barang halal dijawab oleh perusahaan dengan menghadirkan produk yang secara substansi memang halal, namun status 'halal' ini terus menerus diwacanakan dan ditonjolkan kepada publik melebihi substansi lain dalam produk tersebut. Proses pembentukan wacana ini dilakukan melalui media yang dimiliki perusahaan. Komodifikasi pada agama dapat mengalihkan makna simbol keagamaan dari yang semula sakral (syariat Islam akan kaidah halal) menjadi profan (predikat halal yang melekat pada produk untuk menjaring minat).

Pada kasus Wardah, perusahaan ini menggunakan iklan televisi untuk secara kontinyu menginformasikan kepada publik bahwa produk kosmetiknya adalah halal. Kata 'halal' disebut berulang-ulang dalam berbagai versi iklan produk Wardah, selain dalam Perfect Bright Tone Up Cream yang disebut di atas, terdapat juga dalam iklan produk Exclusive Matte Lip Cream (diunggah ke Youtube pada 28 Februari 2020), Perfect Bright Moisturizer (28 Februari 2020), White Secret Pure Treatment Essence (4 Desember 2019), Colorfit Ultralight Matte Lipstick (9 Januari 2020), dan Exclusive Liquid Foundation (23 Januari 2020). Wardah juga memiliki kampanye 'Halal dari Awal' untuk menggalakkan penggunaan produk kecantikan halal dan mendorong tumbuhnya industri kosmetik halal dalam negeri (Salsabila, 2019). Dengan demikian, komodifikasi yang dilakukan berkaitan dengan konten.

Selain konten, iklan Wardah juga menonjolkan identitas Ayana Moon sebagai muslimah dengan simbol jilbab. Pada kesempatan yang lain, misalnya pada episode Wardah Heart to Heart episode 1, Wardah juga memberi ruang untuk identitas Ayana yang lebih spesifik: mualaf. Menurut Pranoto (2020), strategi menaikkan brand dengan identitas 'mualaf' biasanya dilakukan dalam tiga cara, yakni kisah mendapatkan hidayah, pengetahuan tentang agama terdahulu, dan otoritas dari agama terdahulu. Pada episode pertama Wardah Heart to Heart, Ayana menceritakan dirinya dan keluarganya yang berpindah memeluk agama Islam. Meskipun tidak pernah disebut secara terang-terangan dalam iklannya, namun "fakta" bahwa Ayana adalah mualaf telah diketahui publik dengan luas, dan hal ini dapat menjadi nilai plus untuk meningkatkan engage atau ketertarikan publik terhadap brand Wardah. Dalam hal ini, perusahaan menerapkan komodifikasi pekerja.

Lantas, apakah komodifikasi merupakan sesuatu yang buruk?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun