Mohon tunggu...
Inda Nugraha Hidayat
Inda Nugraha Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru | MC | Penulis

Seorang MC yang suka Menulis Puisi, Prosa, Drama, dll, dalam bahasa Sunda dan Indonesia, di sela kesibukannya mengajar di sebuah SMK Swasta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Maskumambang Keabadian

3 Mei 2019   09:01 Diperbarui: 23 November 2021   11:35 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepada Guru-guruku

(Anjeun pisan nu geus ngatik jeung ngadidik
tur jadi tuladan
tuturkeuneun diri kuring

baheula tepi ka jaga)

Ketika malam larut menuju janari,
bintang-bintang sembunyi sebalik sunyi,
dan bulan besar pergi,
diam-diam aku melangitkan kawih,
menembangkan segala ingatan dan kenangan,
yang mengalir bersama kisah-kisah kehidupan.
Tiba-tiba kisahmu terbaca dalam padalisan pupuh yang kukawihkan.
Maka kutembangkan doa dalam wirahma maskumambang
sepenuh hati, meski tanpa diiringi kacapi suling.

(Mugi anjeun ditangtayungan ku Gusti
dijaga diraksa
lahir tumekaning batin
di dunya rawuh ahrat)

Tak habis-habis pupuh kusenandungkan,
tak habis pula kisahmu kuhikmati. 

Menghikmatimu adalah membaca jejak-jejak tak terlacak.
Jejak-jejak perjuangan yang luput dari catatan sejarah,
namun begitu dalam tenggelam dalam setiap aliran darah,
memenuhi sungai-sungai, mengaliri kampung-kampung,
lalu terpatri bagai prasasti di relung setiap hati.

Menghikmatimu adalah menyusun mosaik harapan
dari pecahan angan-angan, dari sobekan-sobekan asa,
dari patahan-patahan semangat, yang dikumpulkan dari hari ke hari. 

Kau yang ajariku menyulam asa.
Merekat angan.
Membakar semangat.
Aku rindu siraman petuahmu. Seperti dulu.
Seperti waktu aku tak tahu bahwa aku tidak tahu,
engkau datang memberitahuku, hingga aku tahu bahwa aku tidak tahu.
Lalu kau ajarkan cara mencari tahu, kau ajarkan cara memberi tahu,
dan aku pun tahu, bahwa aku tahu.

Menyerah bukan gayamu. Seperti katamu, "leukeunan, lakonan!"
Maka meski kadang terbata, kau tantang segala aral dan rintang
dengan kawih yang kadang sumbang, kau terus berjalan dan bersenandung
sambil berusaha agar tak tersandung, menyerahkan diri seutuhnya pada negeri.
Sebaris demi sebaris, kisah tentang kebodohan dihapuskan
sebait demi sebait, kisah hari esok dituliskan.
Kemudian segala pupuh yang kau persembahkan pada negeri,
telah menciptakan gedung-gedung tinggi, pabrik-pabrik besar,
kota yang tertata, kendaraan beraneka ragam,
dan teknologi yang mendunia, mengiringi kemajuan peradaban.
Entah kau sempat menikmatinya atau tidak.

Ingin sekali aku mengikuti nyanyianmu,
menembangkan kisah-kisah indah tentang hari esok,
menyentuh daun-daun telinga dan lembaran-lembaran jiwa,
membakar segala hasrat menjadi kobar semangat.
Tapi aku terlalu sibuk mencemaskan suara sumbangku.
Aku terlalu khawatir memikirkan kehidupan yang tak menentu di depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun