Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Guru Miskin

27 November 2020   22:03 Diperbarui: 28 November 2020   06:48 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu Muliati berjalan lunglai ke warung sebelah. Tangannya menggengam beberapa lembar uang ribuan, sambil menghitung ulang, berkali-kali. Tujuh ribu rupiah, " Cukup lah untuk beli 2 bungkus mie instant dan 2 butir telur" pikirnya. Nanti malam, biarlah anak-anak dan suaminya makan malam berlauk mie dan telur. Muliati harus pandai-pandai mengatur uang, apalagi akhir bulan. Suaminya yang bekerja serabutan tak memiliki gaji tetap, sementara Muliati adalah guru honor pada sekolah swasta yang di kotanya. 

Muliati duduk termenung di meja kerjanya, di barisan paling belakang. Ia terus mengamati bu Riana, guru paling cantik di sekolah ini. Masih muda, energik, dan berpenampilan paripurna sebagai seorang guru. Setiap hari, bu Riana selalu berganti tas. Merah, biru, ungu, krim, moka.... Sementara Muliati hanya memakai tas yang sama. Tas kulit hitam , pemberian dari seorang muridnya pada hari guru tiga tahun yang lalu. 

Pak Agus, sang kepala sekolah, baru saja menukar mobilnya dengan keluaran terbaru. Bu Mira, pegawai tata usaha juga baru membeli sebuah rumah baru tipe 45. Sedangkan Muliati masih tinggal di rumah kontrakan. Sudah 5 tahun Muliati mengajar di sekolah ini, gajinya yang paling kecil di antara guru-guru yang lain. Masalahnya sepele, Muliati belum memiliki ijasah S-1 keguruan. Muliati hanya mengandalkan tambahan pemasukan jika ia diminta mengajar ekstrakurikuler atau pelajaran tambahan di luar jam sekolah.  

Keadaan ekonomi Muliati semakin semrawut kala sang suami sering sakit-sakitan. Alhasil, Muliati harus memutar otak. Sepeda motor milik suaminya digadaikan. Lemari es harus dijual dengan harga murah. Hampir tak ada barang berharga di rumahnya. Muliati bahkan harus meminjam uang pada bu Riana, dengan bunga yang lebih besar dari agen perkreditan. Sementara gaji di sekolahnya jelas-jelas tak cukup. Muliati benar-benar harus berpikir keras. Hatinya setengah memberontak saat ia sengaja menarik uang iuran sukarela dari murid-murid di kelasnya. 

 "Uang ini nanti akan kita gunakan untuk acara perpisahan kelas, "Muliati memberikan alasan. Meskipun acara itu masih setengah tahun lagi. Murid-murid menuruti perintahnya. Muliati menggunakan uang itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Lumayan .. jumlahnya hampir satu juta rupiah. 

Merasa aman dengan akalnya, Muliati kembali mencoba menarik uang murid- muridnya. Kali ini, berdalih untuk membeli buku pegangan panduan belajar matematika. Per anak dikenakan biaya sebesar dua puluh lima ribu rupiah, dikalikan 30 anak dalam kelasnya. Padahal jelas-jelas tidak ada penjualan buku di tengah-tengah tahun pelajaran. "Hmm.. nanti juga akan kuganti uang mereka" pikir Muliati. 

Entah setan apa yang merasuki pikiran Muliati, ia semakin berbuat kecurangan di sekolah. Berkali-kali ia mencoba menarik lembaran rupiah di laci bu Mira di ruang tata usaha. Namun selalu gagal. Tapi Muliati berhasil mengambil beberapa barang berupa alat tulis, tinta, spidol, bahkan kertas-kertas hvs atau sejenisnya, tanpa ketahuan. Lalu dijualnya ke warung kecil di dekat rumahnya. Pernah juga ia mencuri uang jajan muridnya. Muliati semakin bejat! 

Muliati jatuh sakit, entah mengapa kepalanya sering sakit seperti ditusuk jarum. Selera makannya hilang. Tapi ia menolak dirawat di rumah sakit. Padahal sekolah akan menanggung biaya pengobatan. Akhirnya ia hanya dirawat di rumah saja. Minum obat bu bidan dari puskesmas di kelurahan. Teman-teman guru menjenguknya, membawa buah-buahan, roti, dan susu dan sejumlah uang tanda kasih. Muliati tersenyum dalam hati. Segera disobek nya amplop coklat yang diberikan pak Agus begitu semua guru pulang. Akal licik Muliati berjalan mulus. Ia tidak sakit, hanya berpura-pura, demi mendapatkan uang untuk biaya hidup keluarganya sehari-hari . 

Sebuah amplop coklat terletak di meja Muliati. Tanpa ada tulisan apapun. Muliati langsung menyobek nya dengan tidak sabar. Berharap bahwa isinya adalah rupiah. "Siapa tahu, ada yang ingin memberikan uang untuk aku lagi"              

Kepada Yth, ibu Muliati di tempat.  

Salam hormat,                                                     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun