Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjalanan Terakhir (Dedicated to Bapak Lianson)

26 November 2020   20:02 Diperbarui: 27 November 2020   08:56 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

     Udara malam yang dingin menembus kaca jendela minibus yang kami tumpangi. Mesin pendingin  sudah dimatikan, tapi rasa dingin semakin menusuk. Kudekap kedua lenganku, aku mengutuk dalam hati karena tidak membawa jaket yang agak tebal. Kulihat teman di sebelah kanan dan kiriku, mereka juga demikian. Laju kendaraan yang melesat seakan ingin mengalahkan dinginnya malam membuat semua penumpang semakin berkutat dalam pikirannya masing-masing. Perjalanan delapan jam ini terasa semakin panjang. 

     Terus terang, aku sempat berpikir berkali-kali sebelum memutuskan untuk berangkat. Menimbang lebih dalam karena harus berpacu dengan waktu. Namun kebimbangan itu sirna seketika saat hati ini yakin dan kuat untuk bisa bertemu dengannya. Ada secercah harapan tertanam di dalam hati, yakin ia akan kembali bersama kami. 

     Kami mencoba melawan rasa lelah dan kantuk yang luar biasa. Delapan jam perjalanan di malam hari tanpa bisa memicingkan mata sedikitpun. Pagi menjelang, kami tiba di tujuan. Sempat berbenah diri, melepas rasa lelah dan kantuk. Semangat kami mengalahkan rasa itu. Semangat untuk bertemu dengannya dengan membawa setangkup doa. 

     Kami telusuri lorong-lorong rumah sakit besar di kota ini. Baru sekali ini aku memasukinya. Gedung baru bergaya modern, gedung yang lainnya memiliki arsitektur bergaya Belanda dengan jendela-jendela kayu berdaun lebar. " Vintage building" aku berkata dalam hati. Warna dinding keabu-abuan mengiringi langkah-langkah kaki, rasa penasaran bercampur senang, penuh harap berjumpa dengannya. 

      Di sebuah bangsal perawatan berisi sekitar enam tempat tidur, di situlah terpancar rasa bahagia yang begitu dalam. Ada rindu yang membuncah dan terlepas kan. Telapak tangannya terasa dingin ketika kami jabat. Pucat dan lemah. Itulah kesan yang tampak darinya. Namun, di balik itu semua, sebuah senyuman terukir di bibirnya. Ia mencoba menebarkan rasa senang, dan berkata, " Saya baik-baik saja.... "

     Obrolan-obrolan ringan menyeruak di dalam ruang perawatan ini. Ia mencoba duduk dan bercerita tentang dirinya. Tegar, dan tetap penuh semangat. Pertanyaan-pertanyaan meluncur dari mulutnya meskipun terdengar lirih dan tersendat-sendat. Rasanya ia ingin berada di tempat kami, di mana ia dan kami beserta teman-teman guru lainnya mengukir karya. Tangannya yang kokoh ingin bergerak, mengerjakan tugas sebagaimana mestinya. Namun apa daya, kaki -kakinya melemah. Saat itu ia harus kehilangan jari kakinya. Di amputasi, demi menyembuhkan sakit yang telah lama dideritanya. 

     Di tengah -tengah waktu kebersamaan kami, ada sebuah pertanyaan yang ia tujukan khusus buatku. " Bu Indah, teruskan ya mengadakan kegiatan-kegiatan yang positif di sekolah, bangkitkan semangat anak -anak...... "                            Dengan bangga aku menimpali, bahwa sekolah boleh berbangga atas beberapa prestasi yang baru diraih murid-murid. " Pak, kita berhasil memboyong beberapa piala , juara 1 lomba story telling, juara 2 lomba..... " Ia mengangguk senang.                                       Aku berharap dengan berita yang menggembirakan ini akan membuatnya menjadi lebih baik, sehat, dan kembali berkarya bersama kami semua. 

     Sambil menunggu waktu jenguk usai, aku menyempatkan diri duduk di balkon ruang perawatan itu. Mataku menyapu ke seluruh gedung. Kami berada di lantai atas. Benar-benar sebuah rumah sakit yang bagus. Dari sisi fasilitas, dan pelayanannya. Benar-benar luar biasa. Tak hanya pelayanan medis tetapi juga pelayanan rohani.         Aku masih termenung di balkon kecil itu sambil memandang langit. Jarak 227 km dari kota kami ke tempat ini terasa semakin dekat. Bayangan dirinya kembali ke sekolah semakin lekat di mata. Kami semua yakin, ia pasti akan kembali bersama kami. 

     " Tetap semangat ya pak, ... bapak pasti sehat " kalimat itu aku lontarkan kepadanya sebelum aku dan teman-teman pamit kembali ke kota kami. Sekitar 3 jam kami bersamanya, sambil berbagi cerita. Sampai kendaraan kami bergerak keluar area rumah sakit, kami masih merasa sedih. Kesedihan yang kami sembunyikan di saat bersamanya tadi. Tapi kami yakin, ia akan sembuh dan kembali beraktivitas seperti sediakala. 

     Tetapi, harapan tinggalah harapan. Mimpi kami tak pernah terwujud. Beberapa hari sebelum ia sempat melakukan perjalanan liburan bersama keluarga dan akhirnya kondisinya drop, kelelahan, dan jatuh sakit. 

   Jika sudah waktunya, semua akan usai. Semua akan kembali kepada Sangat Pencipta. Perjalanan liburan itu yang menjadi perjalanan terakhirnya. Lelah dan sakitnya telah sirna, mengakhiri petualangan hidupnya di dunia. Ia pasti pergi dalam damai, dan aku yakin itu. Banyak hal baik yang ia tinggalkan. Yang paling aku rasakan adalah saat ia mempertahankan aku agar tetap mengajar di sekolah ini. Aku tak ingin di mutasi mengajar di sekolah lain walaupun masih dalam satu yayasan. Banyak pesan dan keinginannya yang belum terwujud, diantaranya adalah mewujudkan program kearifan lokal, dan budaya daerah. " Dimana bumi  dipijak, di situ langit dijunjung" ungkapnya suatu hari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun