Mohon tunggu...
Nay Sharaya
Nay Sharaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjaga napas dari pena dan kertas yang selalu kuadu, begitulah caraku membahagiakan diriku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jingga di Atap Makassar

25 Desember 2013   17:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13879665901908564832

Tumpukan koran di tanganku belum juga habis. Sebentar lagi hari gelap dan tentu deretan berita-berita ini tak lagi penting. Sudah basi. Mereka akan menanti deretan berita lainnya yang tentunya tidak semembosankan hari ini. Kupandangi Headline koran harian yang telah kubawa mengelilingi lampu merah di bawah Fly over hari ini. Tidak penting menurutku. Aku selalu memilih Headline tersendiri untuk menarik pembeli dan sejauh ini selalu berhasil. Entah mengapa hari ini aku gagal dan sepertinya akan pulang dengan tangan yang sedikit hampa. 'Seorang anak kecil ditemukan mengapung di kanal Tanjung Alang, samping jembatan merah. Diduga mayat tersebut adalah seorang anak jalanan yang ....' Itulah berita pilihanku hari ini. Ternyata para pengendara motor dan penumpang pete-pete biru beraneka kode itu tak mengacuhkanku. Mereka lebih tertarik dengan berita para pejabat. Atau kabar tentang artis yang menjadi pejabat kemudian terjerat kasus atau mungkin ada yang ingin menjadi presiden? Semua itu penting bagi mereka. Bagi orang berdasi yang duduk di belakang setir sambil mengumpat karena mengira lampu lalu lintas memerah lebih lama dari biasanya, atau bagi wanita berambut cokelat yang bersenandung di sampingnya. Tidak ada yang penting tentang berita hari ini. Bukankan mereka hanya sesuatu yang meliuk di jalanan? Hidup dan mati di jalanan adalah hal yang lumrah bukan? Ah, sudahlah. "Koran, koran, koran! Seorang artis yang sedang naik daun tergelincir di sebuah jembatan penyeberangan...." Kutelusuri tiap lorong-lorong di antara kendaraan dengan suara yang menggema. Sesekali menengadah dan berharap langit belum menjingga, sebab itu akan membuatku sadar, bahwa aku tak punya jalan pulang. Pandanganku meremang.

ïïï

"Togar! Kumpulkan mereka, cepat!" perintah Om Bantar seraya menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Aku segera berlari patuh, memasuki ruang kecil gubuk itu dan berkacak pinggang di ambang pintu. "Hei, hei, kalian semua, bangun! Om Bantar sudah datang, bawa setoran kalian sekarang!" Aku memerintah mereka layaknya Om Bantar. Seperti yang selalu ia janjikan padaku, aku adalah calon penerusnya. Hahaha, meskipun kedengarannya lucu, tapi menjadi pewaris calo anak-anak pekerja itu tidak terlalu buruk. Om Bantar sangat percaya padaku, aku selalu gesit dan membawa setoran yang lebih banyak dari yang lain. Suaraku merdu saat mengamen, gerakanku lincah saat menjajakan koran. Dan pernah suatu hari di Losari, aku berhasil membuat sepasang kekasih ketakutan, mereka menolak membayar padahal aku sudah menyanyikan lagu-lagu Boyband terbaru yang susah payah kuhapalkan hingga larut malam. Kuanggap Om Bantar seperti Om sendiri, atau... Ayah? Mungkin, karena kami punya banyak kesamaan. Om Bantar masih bersandar di kursi lapuk kebesarannya menyaksikanku mengumpulkan setoran di deretan bocah-bocah yang usianya tak jauh di bawahku. Sesekali kutimpuk kepala mereka yang gagal menjalankan tugas dengan benar. Setelah itu aku akan menyeretnya ke depan Om Bantar.

ïïï

Anak itu berulah lagi. Kutarik ujung bajunya dan kuhempaskan ia hingga tertumbuk di tiang listrik. "Setoranmu kurang lagi, kau tidak puas dihajar semalam? Apa saja kerjamu seharian, kau tidur lagi, pemalas?" umpatku tak sabar. Anak itu menggeleng, mungkin takut mengakui. Ia menarik tanganku dan menempelkannya di dahinya. Memang agak panas, tapi kami tak punya waktu untuk itu. "Sakit, sejak kapan kau sakit-sakitan?" Anak itu mengangguk lagi. "Andang, dengar, kelak kalau kau dipukuli, aku tidak akan membantumu. Kau ingat, itu? Aku kepercayaan Om Bantar. Awas kalau kau berulah lagi!" ancamku seraya mengetuk dahinya dengan ujung telunjuk. Sesaat setelah melangkah pergi, aku berbalik kembali. Sesuatu dalam darahku memintaku berbalik dan aku benci kerap kali sesuatu itu membuatku lemah. Kusurukkan beberapa lembar uang ke saku bajunya. "Belilah makanan dan segera kembali bekerja!" kataku sekilas seraya menepuk pipinya. Ia mengangguk sumringah. Kulihat dari jauh ia berlari-lari kecil, nyaris tersandung. Ia membeli nasi kuning pada penjaja makanan kemudian melahapnya cepat-cepat. Seperti takut aku akan berubah pikiran dan mengambil uangnya kembali.

ïïï

Langit kembali menjingga, kutimang-timang kardus rokok berisi uang setoranku hari ini. Hari ini aku beraksi di depan RS. Labuang Baji. Di depan lampu merah sambil membawa gitar usang milik Om Bantar. Koranku sudah lebih dulu habis terjual dan aku punya banyak waktu mengamen. Kulihat tak jauh dari tempatku berdiri, Andang menengadahkan tangannya dengan memasang wajah memelas. Sebagian dari mereka bersimpati, mungkin saat Andang menggerakkan tangannya dan memberi isyarat kalau ia belum makan seharian. Sebagian dari mereka, orang-orang cerdas yang rajin membaca koranku akan sadar kalau kami digerakkan oleh calo dan mempengaruhi penumpang lain  agar tak menggubrisnya. Anak lemah itu senang berada di sampingku. Bocah-bocah yang berada di bawah pengawasan Om Bantar akan aman dari pemalak ketika aku ada bersama mereka. Aku bisa sedikit bela diri. Aku lupa belajar dari mana. Andang, anak itu bahkan tidak bisa bersuara. Ia hanya bisa menengadahkan tangan, tak bisa menjaja apapun apalagi mengamen. Tapi hidup harus terus berjalan bukan? Tak peduli kau bisa berbicara atau tidak, hidup tak mau tahu.

ïïï

Aku dan Om Bantar berjalan cepat-cepat. Sekelompok orang yang terlihat di sana memandang kami segan. Aku bahkan memukul-mukulkan tongkatku ke tanah dengan mimik mengancam. Kumpulan mahasiswa itu datang lagi. Mereka menggelar tikar, membawa buku dan alat tulis, memasang papan tulis dan berkoar-koar hingga membuat kupingku panas. Terlebih lagi Om Bantar. Ia sudah lama membuang puntunng rokoknya pertanda ia benar-benar marah. "Hei, bocah-bocah! Pulang sana!" seruku sambil menunjuk mereka dengan ujung tongkatku. Seperti biasa, aku yang memulai kalimat pembuka. Beberapa dari mereka lari terbirit-birit. Mereka, bocah-bocah itu bahkan dengan patuh duduk melingkar, meninggalkan perkerjaan hanya karena diimingi masa depan yang cerah. Masa depan yang cerah hanya dengan tahu mengeja? Cuih. Tidak ada di antara mereka yang lebih lancar membaca dibanding aku. Aku bahkan menghapal berita-berita di koran lengkap dengan tanggalnya seandainya mereka mau beradu. Tapi masa depan yang mereka bualkan tidak datang juga. Aku pernah seperti bocah tak tahu apa-apa itu. Begitu menggebu bertemu mahasiswa berwajah bersih dan cerah yang berbaju seragam dengan jas berbeda. Kadang yang datang berjas oranye, kadang berjas merah atau hijau. Seperti bertemu malaikat. Mereka lembut, juga menjawab pertanyaan kami dengan sabar. Tapi belakangan aku tahu, membaca tak bisa menghasilkan uang. "Kalau kalian berani mengajak mereka bermalas-malasan lagi..." Om Bantar menendang tumpukan buku itu hingga menyebar di atas tikar. "Jangan harap kalian bisa pulang dengan selamat!" ancamnya. Para anak muda itu bergantian memberi penjelasan. Tentang keinginan mereka membangun rumah singgah, keinginan mereka membantu anak-anak agar bisa baca tulis. "Kami hanya ingin membagi ilmu, Pak. Kasihan anak seumuran mereka tidak sekolah. Bapak tidak kasihan memerintah anak sekecil mereka untuk berkerja keras siang dan malam?" Om Bantar tidak peduli alasan apapun, seperti dulu saat ia menyeretku pulang, ia pun melakukan hal yang sama pada beberapa anak itu. Aku mengalihkan pandangan pada mereka, kemudian memberi kode pada mahasiswa itu untuk berhenti bicara dan segera membereskan barang bawaannya. Om Bantar akan kalap jika merasa seseorang berani beradu argumen dan bersikap pintar seakan-akan ia yang bodoh. Bukannya menolong mereka. Hanya sedikit membalas budi. Di sudut sana, di bawah bayang-bayang jembatan layang, kulihat Andang mengintip ketakutan. Dasar bodoh. Sudah kubilang tak usah belajar membaca. Bersuara pun tak bisa. Menggelikan sekali. Dia selalu terlihat konyol.  Tapi dari jauh kulihat kakinya gemetaran, Dan sekali lagi, sesuatu di dalam darahku mengkhianatiku. Aku memberi kode padanya untuk segera kabur seraya menghalangi arah pandangan Om Bantar.

ïïï

Sudah terlalu sore untuk pulang. Kemarin aku gagal menghabiskan sisa koran dan bahkan tidak ada waktu untuk mengamen. Aku berubah. Aku mulai malas mengurusi bocah-bocah itu, suaraku serak saat bernyanyi, kadang fals dan kadang aku lupa liriknya. Om Bantar nyaris marah besar kemarin, tapi ia memberiku satu kesempatan lagi. Ternyata hari ini pun tak berbeda. Kakiku malas melangkah, pandanganku meremang, aku nyaris tertabrak sepeda motor yang melaju normal dan sebelumnya diumpat beberapa supir pete-pete. Otakku memutar sesuatu, sejak semalam. Bukan, sejak malam-malam sebelumnya. Saat keesokan harinya aku berubah seperti ini. Aku tak peduli dengan setoran, aku hanya peduli dengan sesuatu yang menggeliat di kepalaku seperti ulat bulu. "Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi... aku tenggelem, dalam lautan luka...." Aku menyanyi di samping sebuah Avanza silver yang berhenti saat lampu merah. Aku bahkan lupa apa judul lagu itu, hanya lagu itu saja yang tiba-tiba teringat oleh otakku. "Sudah, sudah! Ambil ini dan segera pergi! Suaramu mengganggu sekali!" ucap seorang anak SMA yang tiba-tiba membuka kaca jendela mobilnya dan melemparkan selembar uang seribuan dengan terpaksa ke kotak bawaanku. Uang pertama yang kuperoleh dari hasil mengamen. Suaraku yang mengganggu ada baiknya juga. "Apa uang ini sudah cukup? Ah, tentu saja cukup," gumamku seraya mengeluarkan beberapa gulungan kertas dari saku celanaku. Kupandangi debu yang beterbangan di trotoar dengan ekspresi datar. Aku seperti merindukan sesuatu. Sesuatu yang membuat darahku mendingin dalam waktu singkat. Ternyata masih ada toko yang buka. Syukurlah, aku tak perlu menunggu sampai besok. Kusebutkan barang yang kubutuhkan itu seraya menanyakan merek apa yang paling ampuh. "Merek yang paling ampuh? Memangnya kau bisa bayar berapa?" tantang lelaki paruh baya itu tak percaya. Penampilanku yang kumal dengan bau kulit yang terbakar matahari membuatnya ragu. Segera kukeluarkan lembaran-lembaran yang memenuhi kantongku itu, aku bahkan hanya makan sekali untuk mengumpulkan mereka. "Ini cukup?" Pria itu meneliti uangnya satu persatu, seperti curiga aku akan menggunakan uang palsu. "Baiklah. Ini cukup." Pria itu berjalan menuju salah satu rak dan mengambilkan barang yang kuminta. "Ini yang paling ampuh. Hati-hati menggunakannya, salah-salah kau bisa celaka," ujarnya mengingatkan. Aku mengangguk. Sebelum aku pergi aku masih sempat mendengar pria itu berkata. "Mau kau apakan benda itu? Kau mau membasmi tikus got? Usahamu akan sia-sia anak muda! Got dan Kanal-kanal di Makassar tak ada yang bebas dari tikus got. Hahaha, ada-ada saja," celotehnya panjang lebar. Tikus got? Apa namanya tikus got?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun