Mohon tunggu...
Inayatun Najikah
Inayatun Najikah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Lepas, Pecinta Buku

Belajar menulis dan Membaca berbagai hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Musibah; Merawat Tradisi

24 Juni 2022   11:11 Diperbarui: 2 Januari 2023   12:06 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di desa tempat saya tinggal sudah sejak lama menjunjung tinggi rasa empati dan sikap saling gotong royong. Terbukti selama saya tinggal disini, ketika ada salah satu tetangga mengalami musibah keluarganya ada yang meninggal banyak para warga yang turut berbela sungkawa. Itu merupakan salah satu contohnya. Karena desa saya penduduknya mayoritas muslim.

Sebelum jenazah dikebumikan, para warga dengan sadar dan tanpa paksaan memenuhi rumah duka. Kaum perempuan mengambil peran di dapur untuk menyiapkan makanan yang nantinya akan dibawa ke pemakaman. Sedangkan kaum laki-laki bergotong royong membangun tenda dan yang sebagian pergi ke pemakaman untuk menggali lubang.

Begitu indah disaksikan mata. Para warga datang silih berganti. Tak menilai berapa usianya, berapa kekayaannya, dan apa latar belakangnya, semua menyatu untuk menghibur pihak keluarga dan mendoakan jenazah pada khususnya. Tampaknya mereka tengah mengamalkan hadist Nabi yang menjelaskan tentang salah satu kewajiban muslim atas saudara yang lainnya, yaitu jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.

Begitu juga pada setiap malam. Para warga tanpa diundang dan tanpa dipaksa rela datang berbondong-bondong untuk mengikuti tahlil di rumah duka. Bagi perempuan mendapat jatah pada waktu setelah maghrib, sedangkan laki-laki setelah isyak. Begitu seterusnya hingga sampai tujuh hari dan disetiap malam jumat hingga empat puluh hari.

Saya teringat ketika waktu itu kakak dari mbah saya meninggal. Kebetulan yang memimpin tahlil adalah paman saya. Selepas tahlil paman bercerita sedikit tentang indahnya keberagaman. Paman menganalogikannya dengan sebuah sambal. Sepenuturannya sambal itu terdiri dari beberapa bahan. Ada cabai, garam, bawang merah, terasi, tomat dan sedikit gula. Jika bahan ini dipertemukan dalam sebuah cobek maka terbentuklah sambal. Berbeda kalau bahan ini masih terpisah sendiri-sendiri, tentu tidak akan bisa dinamakan sambal.

Keanekaragaman bahan baku sambal tadi jika bersatu dalam cobek, maka akan menghasilkan rasa yang enak. Terlepas selera rasa per individu berbeda, toh mereka akan tetap bilang bahwa sambal itu enak. Begitu juga dengan manusia, berbagai macam bentuk dan karakter jika saling bertemu dan bersatu maka akan menciptakan suasana yang enak. Tak ada yang namanya perpecahan. Yang ada hanyalah kerukunan dan perdamaian.

Cerita yang saya utarakan diatas mungkin tak istimewa bahkan terlihat biasa saja. Namun bagi saya yang tinggal didesa dengan mayoritas bahkan kesemuanya muslim, sikap demikian perlulah untuk terus dilestarikan. Agar kelak tak ada perpecahan dan perselisihan antar tetangga hanya karena sikap egois dan lebih mementingkan kepentingan pribadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun