Pada musim haji 2025, tercatat 99 jamaah haji Indonesia terserang pneumonia hingga 21 Mei, satu di antaranya meninggal dunia (sehatnegeriku.kemkes.go.id). Data ini mengingatkan akan tingginya risiko kesehatan, terutama bagi jamaah yang berasal dari desa dengan pengetahuan kesehatan terbatas.
Pneumonia merupakan infeksi paru-paru yang dapat menyebabkan sesak napas, demam, dan batuk berat. Dalam konteks jamaah haji, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena faktor kerumunan, udara yang kering, dan suhu ekstrem yang meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan (WHO, 2023). Selain itu, kondisi fisik jamaah yang menua dan penyakit penyerta seperti diabetes atau hipertensi memperparah risiko ini.
Tahun ini ibadah haji sedikit berbeda karena protokol kesehatan yang lebih ketat diberlakukan sebagai respons pandemi dan wabah penyakit (travelandtourworld.id/, 27 Mei 2025). Namun, ancaman pneumonia tetap nyata dan mengharuskan jamaah mempersiapkan diri lebih matang, khususnya masyarakat desa yang selama ini kurang mendapatkan edukasi kesehatan secara optimal.
Pneumonia bukan masalah baru dalam perjalanan haji. Data dari beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa penyakit pernapasan merupakan salah satu penyebab utama gangguan kesehatan jamaah haji. Menurut laporan Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2023, insiden pneumonia pada jamaah mencapai 75 kasus dengan dua kematian (Kemenkes RI, 2023).
Faktor lingkungan di kota suci Makkah dan Madinah yang padat dan panas memicu mudahnya penularan infeksi. Sebagian besar jamaah yang berasal dari desa sering kurang memahami pentingnya pencegahan kesehatan seperti vaksinasi, penggunaan masker, serta menjaga kebersihan tangan. Selain itu, kemampuan akses layanan kesehatan selama haji juga menjadi tantangan, meski fasilitas medis sudah semakin baik.
Namun, peningkatan kasus pneumonia tahun 2025 yang dilaporkan secara resmi menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam edukasi dan persiapan jamaah, terutama mereka yang datang dari desa-desa dengan sumber daya terbatas. Kesadaran tentang penyakit ini harus diperluas agar jamaah lebih siap dan lebih cepat mengambil tindakan pencegahan.
Bagi masyarakat desa, pengetahuan tentang pneumonia dan cara mencegahnya sangat penting, terutama menjelang musim haji. Jamaah harus mendapatkan edukasi dasar mengenai tanda-tanda pneumonia, seperti batuk berdahak, demam tinggi, dan sesak napas. Kesiapan fisik juga mutlak dibangun, misalnya melalui pemeriksaan kesehatan pra-haji, vaksinasi influenza dan pneumonia, serta peningkatan daya tahan tubuh.
Pelatihan kesehatan bagi jamaah desa perlu digalakkan sejak awal pendaftaran haji dengan pendekatan bahasa dan budaya yang mudah dipahami. Pendampingan oleh tenaga kesehatan desa dan tokoh agama dapat menjadi media efektif untuk menyampaikan pesan kesehatan secara lebih persuasif dan menyentuh.
Selain itu, keluarga jamaah hendaknya dilibatkan dalam proses ini agar mendukung pemenuhan kebutuhan kesehatan calon haji. Penguatan sistem layanan kesehatan desa juga harus menjadi perhatian, misalnya dengan memastikan pemeriksaan dan pengobatan awal tersedia, serta koordinasi yang baik dengan petugas haji dan fasilitas kesehatan di Tanah Suci.
Ibadah haji pada tahun 2025 yang penuh tantangan kesehatan seharusnya menjadi momentum refleksi bagi masyarakat, khususnya jamaah dari desa. Memaknai haji bukan hanya soal ritual, tetapi juga menjaga amanah kesehatan sebagai bekal agar ibadah dapat dilaksanakan dengan khusyu dan lancar.