Mengunjungi anak di pesantren bukan lagi sekadar rutinitas bagi sebagian besar orang tua santri. Ia telah menjelma menjadi ritual emosional, spiritual, sekaligus sosial yang merekatkan nilai-nilai keluarga dengan jalan hidup yang sedang ditempuh sang anak.Â
Di balik pelukan singkat dan bincang sederhana, kunjungan menjadi titik temu antara rumah dan pesantren—antara dunia asal dan dunia baru yang tengah dibentuk, tempat anak belajar mandiri, menata mimpi, dan menapaki jalan hidup yang lebih bermakna.
Di banyak pesantren, momen kunjungan biasanya terjadi sebulan sekali, bahkan dua atau tiga bulan sekali. Saat itu, halaman-halaman pesantren menjadi saksi bisu pertemuan keluarga yang sering kali diwarnai linangan air mata haru.Â
Namun, tak jarang kunjungan justru menjadi ruang kontemplasi bagi orang tua—apakah anaknya bahagia, kuat menghadapi hari-harinya, dan berkembang sebagaimana mestinya. Kunjungan pun seharusnya dimaknai lebih dalam, bukan sekadar pelepas rindu, melainkan penyelaman batin atas proses tumbuhnya jiwa anak dalam sistem pesantren.
Sayangnya, sebagian orang tua memaknai kunjungan ke pesantren hanya sebagai seremoni rutin—datang membawa oleh-oleh, berbincang singkat, lalu pulang dengan puas. Padahal, kunjungan semestinya menjadi afirmasi atas perjuangan anak menempuh jalan ilmu.
Tulisan ini hendak mengajak pembaca, khususnya para orang tua santri, untuk memandang ulang momen kunjungan ke pesantren. Ia bukan sekadar kegiatan fisik, melainkan pengalaman emosional dan spiritual yang menuntut kesiapan batin, kematangan sikap, dan empati yang dalam.
Menemani Anak Menempa Diri
Pesantren bukan tempat yang mudah bagi anak-anak yang terbiasa hidup nyaman di rumah. Di sana, mereka diuji bukan hanya dengan hafalan atau kajian kitab, tetapi juga dengan kedisiplinan, kemandirian, dan kehidupan berjamaah yang serba terbatas. Dalam suasana seperti itu, anak-anak memerlukan penguatan, bukan hanya dari ustaz atau sesama santri, tapi juga dari keluarga yang menyayanginya.
Kunjungan menjadi waktu langka yang sarat makna. Ketika orang tua datang dengan wajah penuh cinta, anak merasa dihargai atas perjuangannya. Pelukan hangat, senyuman tulus, dan pertanyaan sederhana tentang hari-harinya di pesantren adalah bentuk komunikasi batin yang memberi energi positif. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa kunjungan yang tulus bisa memperpanjang semangat anak bertahan di dunia pesantren.
Dalam konteks ini, penting bagi orang tua untuk tidak mengeluhkan fasilitas atau membandingkan kenyamanan rumah dengan kehidupan di pesantren. Alih-alih mengasihani, orang tua harus meneguhkan bahwa apa yang dijalani anak adalah pilihan yang mulia dan penuh berkah. Dengan demikian, kunjungan menjadi ladang menumbuhkan kepercayaan diri anak bahwa ia berada di jalan yang benar.
Tidak sedikit orang tua yang tergoda untuk bertanya hal-hal remeh atau sekadar mengisi waktu kunjungan dengan foto dan tawa. Padahal, jauh lebih bermakna jika waktu itu diisi dengan percakapan hati ke hati, diskusi tentang mimpi dan masa depan, atau doa bersama yang menyatukan harapan. Anak-anak yang sedang bertumbuh sangat membutuhkan arah, bukan hanya hiburan.