Hari-hari menjelang Iduladha di desa selalu membawa nuansa yang khas. Jalanan menjadi lebih ramai, dan percakapan warga dipenuhi dengan bahasan tentang hewan kurban. Semua seperti berlomba-lomba memastikan bahwa kewajiban ibadah kurban bisa ditunaikan dengan sebaik-baiknya.
Namun, membeli hewan kurban itu ternyata bukan perkara mudah. Bagi warga desa yang tinggal di desa, urusan memilih sapi atau kambing bukan sekadar soal uang. Ada banyak pertimbangan lain yang membuat prosesnya menjadi susah-susah-gampang, seperti sebuah seni musyawarah tersendiri.
Di satu sisi, harga hewan kurban setiap tahun nyaris pasti naik. Kenaikan ini bukan hanya karena permintaan yang meningkat, tapi juga ongkos pakan, perawatan, dan transportasi yang terus bertambah. Peternak pun tentu tidak ingin merugi.
Warga desa yang penghasilannya tidak tetap, harus menghitung betul-betul berapa dana yang bisa disisihkan. Tak jarang, uang kurban dikumpulkan sejak berbulan-bulan sebelumnya. Bahkan, ada yang menabung khusus, sedikit demi sedikit, demi bisa membeli seekor kambing.
Di sisi lain, tidak semua hewan yang dijual di pasar memenuhi syarat untuk dijadikan kurban. Dalam Islam, hewan harus sehat, tidak cacat, dan cukup umur. Masalah umur ini kerap menjadi titik krusial dan membingungkan bagi warga desa yang awam.
Patokan paling lazim adalah poel, yakni pergantian gigi susu menjadi gigi tetap pada hewan. Jika gigi tetap sudah tumbuh, maka hewan dianggap cukup umur. Namun, mengecek poel bukan pekerjaan mudah, apalagi yang tidak terbiasa memegang sapi atau kambing.
Tak semua pedagang jujur dalam memberikan informasi. Ada yang mengaku hewannya sudah poel padahal belum, karena tahu pembeli tidak tahu cara memeriksanya. Bagi warga desa, kejujuran pedagang adalah faktor utama. Maka, pilihan sering kali jatuh pada penjual langganan yang sudah dikenal sejak lama.
Dalam kondisi seperti itu, kepercayaan menjadi kunci. Biasanya, warga desa bertanya kepada tokoh masyarakat atau ustaz untuk membantu memilihkan hewan kurban. Mereka dipercaya karena dianggap tahu syariat dan punya kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat.
Namun, tidak semua orang punya waktu untuk terlibat langsung dalam proses ini. Apalagi, jika harus ke pasar ternak yang letaknya cukup jauh dari kampung. Maka, pilihan lain yang sering diambil adalah berkurban kolektif melalui pesantren.
Pesantren tidak hanya menjadi pusat pengajaran agama, tetapi juga menjadi tempat kepercayaan masyarakat dalam pelaksanaan kurban. Sistem kolektif yang dijalankan memudahkan warga desa yang punya dana terbatas atau pengetahuan terbatas soal hewan kurban.