Meski pencapaian itu begitu signifikan, sayangnya respons dari TPP Provinsi nyaris tak terdengar. Tak ada ucapan selamat, apalagi pengakuan resmi. Hanya satu orang TPP Provinsi yang sekadar mengapresiasi dengan redaksi singkat di grup WhatsApp, seolah keberhasilan itu tak layak dirayakan.
Keberhasilan Lombok Tengah menyelesaikan Musyawarah Desa Khusus (Musdesus) di seluruh desa untuk pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) merupakan prestasi yang layak dicatat. Tenaga Pendamping Profesional (TPP) atau pendamping desa Lombok Tengah berada di balik sukses ini, mereka bekerja senyap namun penuh dedikasi.
Walaupun sejak awal TPP tidak dilibatkan secara langsung oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Koperasi, mereka tetap bergerak aktif setelah terbit Surat Edaran Kementerian Desa PDTT Nomor 6 Tahun 2025. Dengan instruksi tersebut, seluruh pendamping desa serentak menuntaskan pelaksanaan Musdesus di seluruh wilayah Lombok Tengah.
Berdasarkan data yang dirilis TPP Lombok tengah per 22 Mei, pelaksanaan Musdesus telah 100 persen, tiga koperasi sudah berakta notaris dan 33 lainnya sedang dalam proses, kerja TPP Lombok Tengah bukan hanya tuntas secara teknis, tetapi juga bermakna secara substansial.
Meski pencapaian itu begitu signifikan, sayangnya respons dari TPP Provinsi nyaris tak terdengar. Tak ada ucapan selamat, apalagi pengakuan resmi. Hanya satu orang TPP Provinsi yang sekadar mengapresiasi dengan redaksi singkat di grup WhatsApp, seolah keberhasilan itu tak layak dirayakan.
Padahal, Wakil Bupati Lombok Tengah dalam acara evaluasi KDMP pada 22 Mei 2025 secara terbuka memuji pencapaian ini dan berharap Lombok Tengah bisa menjadi contoh nasional. Pernyataan itu membuktikan bahwa apresiasi bukan hal mewah. Ia bisa lahir dari ketulusan, dari pengakuan atas kerja nyata yang terukur dan berdampak.
Ketiadaan apresiasi dari TPP level provinsi menunjukkan ada yang pincang dalam ekosistem pendampingan desa. Dalam konteks pembangunan yang harusnya kolaboratif, pengabaian semacam ini bisa menjadi preseden buruk. Sebab, pengakuan bukan soal pamrih, tapi bentuk penghargaan atas dedikasi yang sudah melampaui tugas formal.
Haruskah TPP Lombok Tengah menyuarakan sendiri keberhasilannya untuk mendapat perhatian? Haruskah kerja keras selalu dikemas dahulu sebagai narasi publik untuk diakui? Ini menjadi pertanyaan yang patut diajukan ketika kerja-kerja di akar rumput tak dilirik karena tak disuarakan secara politis.
Di tengah kebisingan birokrasi dan euforia program pembangunan yang sering kali bersifat seremonial, TPP Lombok Tengah membuktikan bahwa kerja nyata tetap mungkin dilakukan. Namun kerja nyata itu akan kehilangan makna kolektif bila tidak diiringi apresiasi yang sepadan.
Dalam banyak hal, pengakuan bisa menjadi energi sosial yang memperkuat etos kerja. Ia juga menjadi instrumen penting membangun budaya kerja yang sehat, di mana siapa pun yang memberi kontribusi nyata mendapat tempat dalam percakapan kelembagaan.