Dalam ekosistem kerja yang sehat, membangun kolaborasi dan menjaga etika komunikasi menjadi kunci utama mencapai tujuan bersama. Namun, ketika sebuah sistem mulai menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan dan transparansi, maka risiko disintegrasi tim kerja tak bisa dihindari.
Sebuah surat pemanggilan pembinaan yang ditujukan kepada seorang Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten, baru-baru ini, menimbulkan perbincangan luas di internal pendamping desa.
Surat tersebut memuat tuduhan bahwa yang bersangkutan telah bersikap “memprovokasi dan menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman,” berdasarkan informasi dari media sosial dan laporan internal.
Pemanggilan untuk klarifikasi yang dijadwalkan secara resmi oleh Koordinator Provinsi tentu sah secara administratif. Namun demikian, penggunaan diksi seperti “memprovokasi” dan “tidak nyaman” dapat menimbulkan stigma yang mengarah pada pembunuhan karakter, terutama jika tidak didasari oleh bukti faktual yang terverifikasi.
Penting disadari bahwa atmosfer kerja dalam lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat menuntut ruang kritik dan dialog terbuka. Jika ekspresi pendapat atau ketidaksetujuan dianggap sebagai provokasi, maka kebebasan berpendapat dan integritas profesional para pelaksana pemberdayaan menjadi taruhannya.
Setiap level pendamping desa tentu memahami hal ini. Karena itu, tulisan ini bukanlah bentuk provokasi atau upaya menimbulkan ketidaknyamanan. Justru sebaliknya—ini adalah ajakan untuk memperbaiki ekosistem kerja yang sehat, setara, dan sejalan dengan semangat pemberdayaan.
Klarifikasi Bukan Vonis
Secara prosedural, pemanggilan klarifikasi tentu hak lembaga. Namun, perlu digarisbawahi bahwa klarifikasi bukanlah bentuk penghukuman, melainkan ruang menjernihkan informasi. Dalam banyak kasus, kekeliruan membaca konteks atau menyimpulkan ekspresi di media sosial atau grup WhatsApp dapat berujung pada tindakan yang justru merusak integritas sistem kerja itu sendiri.
Sayangnya, dalam surat yang beredar itu, nada yang digunakan terasa lebih menyerupai vonis daripada ajakan berdialog. Jika seseorang langsung disebut sebagai penyebab suasana tidak nyaman tanpa terlebih dahulu mengonfirmasi konteks, maka proses klarifikasi menjadi timpang sejak dari pikiran. Seperti menjatuhkan hukuman sebelum diadili.
Lebih jauh, penggunaan laporan dari pihak ketiga tanpa bukti konkret sangat rentan digunakan sebagai alat pembenaran tindakan sepihak. Dalam dunia kerja yang mengedepankan profesionalisme, semua pihak semestinya menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah.
Adalah hak setiap tenaga pendamping atau profesional untuk mempertahankan martabatnya, terlebih bila merasa dirugikan oleh tuduhan yang tidak berdasar. Upaya hukum melalui somasi atau aduan etik dapat menjadi pilihan terakhir apabila hasil klarifikasi justru menguatkan stigma negatif tanpa dasar yang kuat.