Di kampung kecil yang tak jauh dari Gunung Sasak, musim haji selalu membawa getar yang berbeda. Dari spanduk di gang hingga pengeras suara masjid, nama-nama jemaah dibacakan satu per satu dengan penuh haru.
Anak-anak menghafal nama-nama itu, menyambut tamu Allah dengan tawa kegembiraan. Ibu-ibu menyiapkan nasi berkat, bapak-bapak memasang umbul-umbul. Setiap keberangkatan menjadi peristiwa, bukan hanya bagi keluarga, tapi seluruh kampung.
Namun tidak semua dapat menyusul. Bagi sebagian orang, menunaikan ibadah haji tetap menjadi cita-cita yang digenggam erat bertahun-tahun. Di kampung kami, ongkos ke tanah suci disebut dengan istilah yang akrab: tambang haji.
Istilah ini lahir dari kebiasaan lama. Dahulu, orang tua kami menyimpan uang mereka di bawah lantai tanah rumah mereka. Tabungan itu ditanam, seperti emas di perut bumi. Maka ia disebut tambang—berharga dan dijaga dengan sangat hati-hati.
Tambang haji bukan sekadar simpanan. Ia adalah doa yang dikumpulkan perlahan-lahan, dari hasil menjual hasil panen, menjahit, menjadi buruh tani, berdagang keliling, atau menarik cidomo mengantar pedagang dan penumpang sejak fajar menyingsing
Seorang kusir cidomo tetangga kami pernah bercerita bahwa ia mulai menabung tambang haji sejak roda kayu kendaraannya pertama kali menyentuh jalanan desa. Sedikit demi sedikit, ia simpan hasilnya di bawah lantai bilik rumah.
Bertahun-tahun kemudian, ketika tambang itu hampir cukup untuk disetorkan, datang saudara jauh dari luar pulau. Membawa kabar duka dan harapan. Meminta bantuan karena tak punya siapa-siapa di dunia ini kecuali dirinya.
Dengan berat hati, tabungan itu dikeluarkan. Bukan untuk ke tanah suci, tapi untuk membebaskan keluarga dari lilitan utang. Ia ikhlas, katanya. Tapi sejak hari itu, langkah ke Makkah terasa makin jauh. Tambangnya hilang bersama waktu.
Kisah seperti itu banyak kami dengar. Di kampung kami ada semacam keyakinan—bahwa ketika tambang haji digunakan untuk sesuatu yang bukan niat awalnya, maka jalan menuju Baitullah kerap menjadi semakin sulit dijangkau.
Mungkin itu hanya kepercayaan, atau mitos. Tapi mungkin juga pengalaman hidup yang berulang dan menjadi semacam hukum tak tertulis. Sebab tak sedikit yang bercerita: begitu tambang haji digunakan untuk hal lain, niatnya seolah tak sampai.