Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tambang Haji di Bawah Lantai, Harapan yang Tak Pernah Padam

15 Mei 2025   18:29 Diperbarui: 15 Mei 2025   18:29 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak Sulaeman-Ibu Asmah berhaji tahun 2023 dari hasil tabungan usaha batu bata.   (Sumber: bandung.kompas.com/read/2023/05/29/143328178/)

Di kampung kecil yang tak jauh dari Gunung Sasak, musim haji selalu membawa getar yang berbeda. Dari spanduk di gang hingga pengeras suara masjid, nama-nama jemaah dibacakan satu per satu dengan penuh haru.

Anak-anak menghafal nama-nama itu, menyambut tamu Allah dengan tawa kegembiraan. Ibu-ibu menyiapkan nasi berkat, bapak-bapak memasang umbul-umbul. Setiap keberangkatan menjadi peristiwa, bukan hanya bagi keluarga, tapi seluruh kampung.

Namun tidak semua dapat menyusul. Bagi sebagian orang, menunaikan ibadah haji tetap menjadi cita-cita yang digenggam erat bertahun-tahun. Di kampung kami, ongkos ke tanah suci disebut dengan istilah yang akrab: tambang haji.

Istilah ini lahir dari kebiasaan lama. Dahulu, orang tua kami menyimpan uang mereka di bawah lantai tanah rumah mereka. Tabungan itu ditanam, seperti emas di perut bumi. Maka ia disebut tambang—berharga dan dijaga dengan sangat hati-hati.

Tambang haji bukan sekadar simpanan. Ia adalah doa yang dikumpulkan perlahan-lahan, dari hasil menjual hasil panen, menjahit, menjadi buruh tani, berdagang keliling, atau menarik cidomo mengantar pedagang dan penumpang sejak fajar menyingsing

Seorang kusir cidomo tetangga kami pernah bercerita bahwa ia mulai menabung tambang haji sejak roda kayu kendaraannya pertama kali menyentuh jalanan desa. Sedikit demi sedikit, ia simpan hasilnya di bawah lantai bilik rumah.

Bertahun-tahun kemudian, ketika tambang itu hampir cukup untuk disetorkan, datang saudara jauh dari luar pulau. Membawa kabar duka dan harapan. Meminta bantuan karena tak punya siapa-siapa di dunia ini kecuali dirinya.

Dengan berat hati, tabungan itu dikeluarkan. Bukan untuk ke tanah suci, tapi untuk membebaskan keluarga dari lilitan utang. Ia ikhlas, katanya. Tapi sejak hari itu, langkah ke Makkah terasa makin jauh. Tambangnya hilang bersama waktu.

Kisah seperti itu banyak kami dengar. Di kampung kami ada semacam keyakinan—bahwa ketika tambang haji digunakan untuk sesuatu yang bukan niat awalnya, maka jalan menuju Baitullah kerap menjadi semakin sulit dijangkau.

Mungkin itu hanya kepercayaan, atau mitos. Tapi mungkin juga pengalaman hidup yang berulang dan menjadi semacam hukum tak tertulis. Sebab tak sedikit yang bercerita: begitu tambang haji digunakan untuk hal lain, niatnya seolah tak sampai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun