Baru-baru ini, perdebatan publik tentang penanganan anak-anak yang dianggap bermasalah atau “kelewat nakal” kembali mencuat dengan wacana pengiriman ke barak militer. Pilihan kebijakan ini meski terdengar tegas, justru menyiratkan krisis dalam pendekatan pendidikan kita (Kompas.com, 09/05/2025). Ketidakmampuan untuk mengelola perilaku anak secara manusiawi dan transformatif adalah isu yang seharusnya mendapat perhatian lebih serius.
Dalam konteks ini, konsep “Sekolah Perjumpaan” yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. H. Muhammad Husni Muadz, MA., Ph.D., menjadi sangat relevan sebagai alternatif penyelesaian yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan karakter. Dr. Husni Muadz adalah seorang intelektual dan akademisi asal Lombok. Ia menamatkan studi doktoralnya di University of Arizona, Amerika Serikat.
Beliau dikenal luas sebagai penggagas Sekolah Perjumpaan, sebuah konsep pendidikan nonformal yang bertujuan membentuk manusia dengan empati, kesadaran, dan keterbukaan hati. Dalam bukunya Sekolah Perjumpaan (GH Publishing, 2017), Husni menegaskan bahwa inti pendidikan bukan hanya soal kognisi, tetapi keberterimaan.
Sekolah Perjumpaan bukanlah institusi fisik, melainkan ruang batin dan sosial tempat manusia saling berjumpa secara otentik. Berangkat dari gagasan ini, pendekatan terhadap anak-anak yang kerap dicap “nakal” seharusnya tidak berakhir dengan represi atau hukuman bergaya militer. Sebaliknya, anak-anak tersebut perlu dijumpai secara personal dan manusiawi.
Dalam perjumpaan, kita tidak hanya menyapa perilaku, tetapi juga latar belakang, luka batin, dan potensi yang tersembunyi. Seperti dikatakan Husni dalam berbagai pelatihan yang ia pimpin di Pusat Pengembangan Budaya dan Karakter (P2BK), perjumpaan adalah momen spiritual yang bisa membongkar dan menyembuhkan keretakan dalam jiwa manusia.
Penelitian oleh Petrisia, Salim, dan Savitri (Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, UMM, 2018) membuktikan bahwa pendekatan dialogis dan empatik efektif menumbuhkan empati anak. Ini sejalan dengan prinsip Sekolah Perjumpaan yang mengedepankan dialog sebagai ruang penyembuhan dan transformasi.
Dalam Sekolah Perjumpaan, anak tidak dipaksa patuh lewat ancaman, tapi disentuh lewat perasaan. Seperti dalam metode dialogic reading, pendekatan ini mengajak anak merenung, menyuarakan pikirannya, dan merasa diterima, bukan dihakimi. Maka, perubahan pun lahir dari kesadaran.
Penelitian ini sejalan dengan filosofi Sekolah Perjumpaan yang mengutamakan “membaca dunia batin anak” sebelum membuat penilaian. Dalam masyarakat yang makin kompleks dan plural, sekolah dan rumah tidak bisa lagi hanya mengandalkan model pendidikan satu arah. Anak-anak zaman ini tumbuh dalam jejaring digital dan sosial yang lebih rumit.
Mereka menyerap nilai dari beragam sumber yang kadang kontradiktif. Maka, bukan hanya disiplin yang dibutuhkan, melainkan ruang dialog yang sehat. Sekolah Perjumpaan menawarkan hal ini melalui praktik mendengar aktif, refleksi bersama, dan penumbuhan empati. Dengan cara ini, anak-anak tidak merasa dikendalikan, tetapi diberdayakan.
Salah satu contoh penerapan pendekatan ini dapat dilihat dari proyek komunitas yang didokumentasikan dalam skripsi Nurul Hikmah di Universitas Mataram (2023). Skripsi tersebut berjudul Model Sekolah Perjumpaan sebagai Alternatif Pembentukan Karakter Anak di Lingkungan Sosial yang Kompleks. Studi tersebut menggambarkan transformasi positif pada perilaku anak-anak yang sebelumnya dicap bandel setelah mengikuti proses perjumpaan intensif dengan fasilitator.