Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mendidik dengan Hati: Jalan Restoratif dan Pesantren sebagai Alternatif Kultural

11 Mei 2025   11:11 Diperbarui: 11 Mei 2025   21:40 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (Sumber: KOMPAS.com/FREDERIKUS TUTO KE SOROMAKING )

Narasi tentang penerapan pendekatan militer dalam pendidikan kembali mencuat ke permukaan setelah politisi Dedi Mulyadi membawa anak-anak bermasalah ke barak militer. Wacana ini memicu perdebatan publik terkait efektivitas dan dampaknya terhadap pendidikan karakter anak-anak (Kompas.com, 10 Mei 2025).

Banyak pihak menilai pendekatan semacam itu kurang tepat, apalagi dalam konteks pendidikan karakter anak. Sejumlah pakar dan praktisi psikologi menilai ini bisa berdampak negatif.

Sebagaimana dikutip dalam Kompas.com "Psikiater: Disiplin ala Militer Bukan Solusi untuk Anak Nakal" (2 Mei 2025), pendekatan berbasis rasa takut hanya akan menumbuhkan kepatuhan semu. Anak-anak bisa patuh, tetapi bukan karena kesadaran moral yang tumbuh.

Padahal, akar dari kenakalan anak sering kali lebih kompleks. Ia bisa muncul dari relasi keluarga yang renggang, tekanan sosial ekonomi, hingga absennya figur panutan dalam kehidupan anak sehari-hari.

Maka, sebelum bicara tentang barak militer, kita perlu lebih dulu memetakan masalahnya. Dari sinilah pendekatan restoratif perlu dipertimbangkan sebagai langkah awal yang manusiawi dan edukatif.

Restoratif, Bukan Represif

Restorative approach menekankan perbaikan hubungan, bukan penghukuman. Anak yang bermasalah tidak langsung diberi sanksi, melainkan diajak berdialog, dipahami latar belakangnya, lalu dirancang jalan pemulihan.

Langkah awalnya bisa berupa bimbingan konseling dalam jangka waktu tertentu. Orang tua dilibatkan secara aktif agar proses pembinaan tidak terputus antara sekolah dan rumah.

Jika setelah masa pembinaan anak tetap menunjukkan perilaku destruktif, maka baru dipertimbangkan opsi berikutnya. Namun itu pun bukan dengan cara menghukum, melainkan tetap dalam kerangka pendidikan.

Dalam konteks ini, pesantren bisa menjadi opsi yang akrab dengan masyarakat Indonesia. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tapi juga ruang pembentukan karakter yang terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari.

Pesantren sebagai Alternatif Kultural

Dalam sejarahnya, pesantren memiliki fungsi sosial yang luas. Selain mengajarkan ilmu agama, pesantren membentuk etos hidup santri: disiplin, hormat pada guru, dan hidup dalam kebersahajaan (Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, 1982).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun