Di banyak desa, haji bukan hanya perjalanan spiritual ke Tanah Suci, melainkan juga prestise sosial yang sakral. Maka, ketika seorang warga kehilangan haknya untuk berangkat, luka itu tak hanya administratif.
Sebagai pendamping desa, kami menyaksikan langsung bagaimana warga menyisihkan rupiah demi rupiah dari hasil panen, berdagang kecil, atau menjual ternak demi satu niat mulia: berhaji. Bagi mereka, ini mimpi seumur hidup.
Ketika nama-nama calon haji tiba-tiba tak muncul dalam daftar pemberangkatan padahal sudah mendaftar sejak 2012, masyarakat desa diliputi tanya. Tak ada penjelasan resmi, apalagi ruang bagi mereka mencari keadilan.
Dalam perspektif pembangunan partisipatif, hal seperti ini bukan sekadar insiden teknis, tetapi kegagalan dalam membangun kepercayaan antara warga desa dan negara. Kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun, kini mudah retak.
Menurut James C. Scott dalam bukunya Seeing Like a State (Yale University Press, 1998), negara kerap gagal melihat dinamika lokal karena terlalu percaya pada data dan sistem yang seragam dari pusat ke pinggiran.
Itulah yang terjadi saat sistem kuota haji didominasi oleh mekanisme pusat yang tidak membuka ruang koreksi dari desa. Nama warga hilang begitu saja, tanpa ada klarifikasi yang manusiawi dan adil dari penyelenggara.
Dalam pertemuan-pertemuan di desa, banyak keluhan atau curhatan serupa. Mereka menyaksikan warga binaan yang menangis dan merasa kehilangan harapan. Ini bukan keluhan remeh, tapi kegagalan struktural.
Sebagaimana ditegaskan dalam Panduan Pelayanan Publik di Kawasan Perdesaan terbitan Kemendesa PDTT (2021), pelayanan yang baik di desa harus menjunjung tinggi keterbukaan, akuntabilitas, dan keberpihakan pada masyarakat miskin.
Namun dalam kasus haji, yang muncul adalah kebisuan. Tidak ada mekanisme klarifikasi yang merakyat. Kantor kementerian agama di tingkat kabupaten sulit diakses, dan pejabat kerap defensif daripada terbuka terhadap kritik masyarakat.
Sosiolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java (University of Chicago Press, 1960) menunjukkan bagaimana agama dalam masyarakat desa merupakan identitas dan kehormatan. Maka kehilangan kesempatan haji adalah luka kolektif.