Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Buruh, Bukan Hanya Upah, Tapi juga Suara

2 Mei 2025   13:38 Diperbarui: 2 Mei 2025   13:38 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/30/212338465/sejarah-hari-buruh-di-indonesia-dulunya-dilarang-kini-jadi-hari-libur?page=all)

Pada peringatan Hari Buruh Internasional, perhatian banyak pihak tertuju pada kesejahteraan, keadilan upah, dan hubungan industrial yang manusiawi. Namun, satu aspek penting justru luput: komunikasi yang sehat antara atasan dan pekerja.

Di banyak ruang kerja, termasuk dalam lingkup organisasi pemerintahan dan sosial, komunikasi pimpinan kerap menjadi sumber masalah yang tak kasatmata. Seperti dalam cerita ini, ruang komunikasi grup WhatsApp justru menjadi sumber kebuntuan tafsir.

Seorang pimpinan yang kerap meneruskan informasi dari pusat tanpa penjelasan membuat suasana kerja penuh ketidakpastian. Informasi mentah yang seharusnya dijelaskan, justru dilemparkan begitu saja kepada tim.

Tak ada penjelasan atau tafsir. Tak ada konteks. Pimpinan memilih diam dan menyerahkan makna sepenuhnya kepada tim. Dalam praktik kepemimpinan, seperti dikemukakan oleh Edgar H. Schein dalam Organizational Culture and Leadership (Jossey-Bass, 2010), pemimpin adalah pembentuk makna, bukan sekadar pengantar pesan.

Alih-alih menjelaskan, sang pimpinan justru bersembunyi di balik kalimat populer seperti: "Kita semua sudah dewasa." Kalimat ini, yang semestinya bermakna positif, berubah menjadi alasan untuk tidak menjelaskan dan menarik diri dari tanggung jawab.

Ketika Klarifikasi Tak Diberi Ruang

Ketiadaan penjelasan menimbulkan dorongan untuk bertanya. Namun, pertanyaan di grup tak pernah dijawab. Meski sudah terbaca, pimpinan memilih diam, seakan kejelasan bukan bagian dari tanggung jawabnya.

Bawahan yang mencoba bertanya secara pribadi pun tak luput dari risiko. Pertanyaan tersebut bisa saja diungkit kembali dalam forum besar sebagai sindiran. “Kita ini sudah sama-sama dewasa, jangan semua harus dijelaskan,” begitu kira-kira ucapannya.

Sikap seperti ini menciptakan ketidakamanan dalam komunikasi. Dalam The Five Dysfunctions of a Team (Patrick Lencioni, Jossey-Bass, 2002), dikemukakan bahwa komunikasi terbuka adalah fondasi kepercayaan tim. Bila pertanyaan dipelintir menjadi bahan forum, maka kepercayaan terkikis.

Dalam jangka panjang, bawahan akan enggan bertanya. Mereka memilih diam, bukan karena paham, tetapi karena takut disalahkan. Rasa takut inilah yang pelan-pelan melumpuhkan dinamika organisasi dan membunuh kreativitas tim.

Sindiran di Forum, Diam di Grup

Fenomena lain yang membuat kondisi semakin runyam adalah sikap paradoks pemimpin. Di grup ia diam, namun di forum ia bersuara lantang. Bukan untuk memberi arahan, melainkan menyindir bawahannya secara tak langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun