Pagi itu, di sebuah balai desa di Sidoarjo, sekelompok pendamping desa sibuk berbagi cerita tentang satu hal yang dulu nyaris luput dari perhatian banyak orang: data Dana Desa.
Bukan sekadar angka-angka yang tertulis dalam laporan, melainkan data yang telah “bernyawa”, membentuk wajah baru akuntabilitas desa.
Di tengah obrolan itu, seorang pendamping bercerita tentang pengalaman sederhana namun penuh makna: bagaimana MonevDD, yang dulu hanya sekadar monitoring, kini berubah menjadi tulang punggung laporan Dana Desa ke pusat.
Tidak banyak yang tahu, pekerjaan ini membutuhkan kecakapan lebih dari sekadar mengisi kolom-kolom kosong. Mereka yang terbiasa mengolah data, terutama lewat Excel, menemukan tantangan ini justru sebagai permainan yang menyenangkan.
Seorang PIC Data di Sidoarjo, yang digambarkan menguasai Excel pada tingkat mahir, sering kali menjadi rujukan ketika pendamping lain mengalami kesulitan.
Ketika Tenaga Ahli Pusat datang ke Sidoarjo, semua menjadi lebih jelas. Dari penjelasannya, terungkap bagaimana TA Pusat bisa dengan cepat mencium aroma penyimpangan.
Data MonevDD diubah menjadi format Excel yang telah disiapkan dengan rumus-rumus tertentu. Seperti kisah dalam buku Freakonomics karya Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner (William Morrow, 2005), data dapat berbicara, bahkan sebelum ada pertanyaan.
Jika ada angka yang melewati batas wajar, sinyal langsung menyala.
Pusat tidak perlu lagi bertanya panjang lebar.
Pertanyaan utama hanya dua: salah input atau salah kelola?
Di sinilah peran pendamping desa menjadi lebih dari sekadar jembatan program. Mereka menjadi penjaga akuntabilitas di tengah derasnya aliran Dana Desa. Bahkan, Siskeudes sebagai sistem keuangan desa ikut mengunci jalur penggunaan anggaran, menciptakan sistem pertahanan yang makin kuat.
Namun, kekuatan sistem tidak cukup tanpa kekuatan logika. Maka, pendamping desa belajar membangun nalar: memperkuat perencanaan, membaca risiko, dan melibatkan masyarakat dalam setiap keputusan.