Di desa-desa Nusantara, emas bukan sekadar logam mulia. Ia adalah simbol ketekunan, warisan, dan jaminan masa depan. Masyarakat desa telah mengembangkan cara-cara unik untuk menyimpan emas, baik dalam bentuk perhiasan maupun batangan, sejak dahulu kala sebagai bentuk proteksi nilai.
Emas biasa disimpan di tempat yang dianggap aman. Bantal kapuk, kasur, hingga kaleng seng menjadi pilihan masyarakat desa. Tujuannya sederhana namun penting: melindungi aset berharga dari pencurian sekaligus menjaga nilainya agar tetap utuh dan aman disimpan.
Dalam budaya masyarakat Sungsang, emas tidak hanya jadi alat mempercantik diri saat kenduri atau sedekahan. Perhiasan emas juga merupakan bentuk investasi. Anita, warga setempat, menyebut menyimpan uang dalam bentuk emas lebih dipercaya (Sumatera Ekspres, 2024).
Tradisi menyimpan emas seperti ini telah diwariskan lintas generasi. Emas menjadi semacam simpanan sosial keluarga. Ia bisa dijual kembali, diwariskan, atau digunakan sebagai bekal biaya pendidikan dan keperluan mendesak. Emas menjadi pilihan utama dibandingkan menabung dalam bentuk uang tunai.
Selain sebagai investasi, emas juga punya makna simbolik dalam adat. Di Desa Ollot, ada tradisi “Momulah”—emas ditanam dalam tanah saat membangun rumah baru. Emas dipercaya membawa berkah, kelancaran rezeki, dan perlindungan spiritual bagi rumah dan penghuninya (Tadayyun, 2023).
Namun, perubahan zaman menggeser cara pandang masyarakat desa terhadap penyimpanan emas. Kini, mereka mulai memanfaatkan layanan modern, seperti brankas rumah tangga dan penitipan di bank. Tapi, biaya layanan bank yang relatif mahal masih menjadi kendala serius bagi masyarakat desa (Bhuana Jaya, 2024).
Kemajuan teknologi pun memperkenalkan bentuk investasi emas yang lebih modern. Aplikasi digital seperti Pegadaian Digital, Shopee Tabungan Emas, dan sejenisnya memungkinkan masyarakat desa membeli emas secara online. Modalnya ringan, prosesnya praktis, dan bisa dikonversi ke emas fisik (Easycash, 2024).
Namun, tidak semua berjalan mulus. Beberapa warga mengeluhkan harga jual kembali emas digital yang lebih rendah dari harga beli. Selisih ini cukup signifikan, dan membuat masyarakat desa ragu berpaling sepenuhnya dari emas fisik yang dianggap lebih stabil nilainya.
Di tengah arus perubahan, edukasi menjadi kunci penting. Program literasi keuangan yang dijalankan di desa-desa seperti Desa Cikeusal menunjukkan bahwa pemahaman terhadap bentuk investasi sangat membantu masyarakat membuat keputusan tepat (Jurnal PPKI, 2024). Kesadaran tumbuh seiring akses informasi yang membaik.
Pilihan antara emas fisik dan digital akhirnya bergantung pada kenyamanan dan pengetahuan individu. Yang terpenting adalah memastikan bahwa emas, apapun bentuknya, tetap berfungsi sebagai alat menjaga nilai dan menjamin kesejahteraan ekonomi jangka panjang keluarga desa.