Perubahan bukanlah musuh bagi kemajuan. Namun, setiap perubahan menuntut kesiapan. Inilah yang sedang dihadapi desa-desa kita saat ini. Indeks Desa Membangun (IDM) yang selama hampir satu dekade menjadi acuan utama status desa, kini bertransisi menuju Indeks Desa versi Bappenas.
Indeks Desa yang dikembangkan Bappenas memiliki pendekatan evaluatif yang lebih menekankan pada outcome sektoral. Terdiri atas enam dimensi: Layanan Dasar, Sosial, Ekonomi, Lingkungan, Aksesibilitas, dan Tata Kelola Pemerintahan Desa, indeks ini menjanjikan gambaran pembangunan desa yang lebih menyeluruh dan terukur lintas sektor.
Sementara IDM, sebagaimana dirumuskan oleh Kementerian Desa dalam Permendes PDTT No. 2 Tahun 2016, mengacu pada tiga dimensi utama: Ketahanan Sosial, Ketahanan Ekonomi, dan Ketahanan Lingkungan. IDM bersifat progresif dan partisipatif, menilai sejauh mana desa mampu memenuhi indikator dalam konteks lokalnya.
Harmonisasi dan konvergensi antara dua sistem ini telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Tujuannya jelas yakni agar tidak terjadi disorientasi kebijakan dan agar desa tidak bingung dengan standar yang berubah-ubah.
Namun, tetap saja tantangan muncul. Salah satunya adalah kekhawatiran sebagian besar kepala desa dan pendamping desa bahwa status desa mereka akan turun ketika sistem pengukuran berubah. Jika sebelumnya “mandiri” atau “maju”, bisa saja kini hanya “berkembang” atau bahkan “tertinggal”.
Pelaksanaan Indeks Desa Dimulai Tahun 2025
Indeks Desa ini resmi diluncurkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada Senin, 4 Maret 2024 di Jakarta. Pelaksanaan indeks tersebut dimulai pada tahun 2025 sebagai satu-satunya indikator tunggal untuk mengukur capaian pembangunan desa secara nasional.
Indeks Desa disusun melalui kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, yakni Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT). Bappenas juga menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) dan Sekretariat Kabinet dalam proses penyusunannya. Kolaborasi ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun metodologi yang komprehensif dan inklusif.
Dampak Psikologis dan Politis
Status desa bukan hanya angka. Ia adalah lambang capaian kolektif, kebanggaan masyarakat, dan alat legitimasi pembangunan. Oleh karena itu, perubahan yang drastis tanpa pendekatan transisi bisa menimbulkan demoralisasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Agus Pramusinto dalam bukunya “Governance dan Inovasi Pelayanan Publik” (Gadjah Mada University Press, 2020), legitimasi dan persepsi publik terhadap kinerja pemerintah lokal sangat dipengaruhi oleh capaian-capaian yang mudah dipahami masyarakat. Dalam konteks desa, status IDM adalah capaian tersebut.
Bayangkan sebuah desa yang selama ini merasa maju dan berhasil, namun karena perubahan indikator menjadi dinilai buruk. Ini bisa merusak kepercayaan warga pada pemerintah desa dan pendamping.