Saya tidak menyangka bahwa pernikahan kami yang hampir dua dekade ini menyimpan satu rahasia kecil yang begitu mengejutkan. Bukan tentang tabungan rahasia istri atau kenangan masa lalu yang belum sempat dikisahkan. Melainkan tentang sebuah botol. Bahkan dua.
Ceritanya bermula ketika saya iseng bertanya kepada istri, “Kita punya produk Tupperware nggak, sih?”
Pertanyaan itu keluar spontan, setelah saya membaca satu artikel di harian lama tentang bagaimana produk Tupperware dulu jadi simbol kelas menengah baru Indonesia pasca-Orde Baru (lihat: Kompas, 17 Februari 2015, “Tupperware dan Memori Kelas Menengah”).
Istri menoleh pelan, seperti hendak memastikan: ini suaminya nanya serius atau lagi ngelawak.
“Lho, itu dua botol di samping tempat tidur tiap malam mas minum airnya itu... itu Tupperware.”
Saya terdiam.
Sudah bertahun-tahun saya minum dari botol biru dongker dan hijau terang itu. Kadang sebelum tidur, kadang saat bangun tidur, kadang cuma iseng nyeruput air karena merasa haus padahal cuma lapar perhatian.
Dan ternyata itu Tupperware?
Refleksi datang seperti tamparan pelan di pipi yang belum cuci muka.
Selama ini saya pikir Tupperware hanya hidup di dapur. Di rak sebelah rice cooker, di lemari penyimpan makanan kering, atau di tempat camilan yang jarang disentuh karena isinya selalu kosong.