Jika topik pilihan di Kompasiana tidak mengangkat soal Tupperware, mungkin ingatan ini akan lewat begitu saja tanpa sempat saya rekam. Padahal kisah ini lahir dari ruang keseharian di Desa Malaka.
Di seberang kantor Desa Malaka berdiri sebuah warung kopi, tempat saya kerap mampir sebelum memulai aktivitas atau sekedar menunggu teman sepekerjaan. Hanya untuk menikmati secangkir kopi hangat yang disajikan penuh keramahan oleh sang ibu pemilik.
Berulang kali mampir di situ, saya mendengar ibu warung memerintahkan anaknya mengambil Tupperware. Awalnya saya mengira yang dimaksud adalah produk bermerek asli Tupperware, seperti yang kita kenal selama ini.
Namun secara tak sengaja, saya melihat merek lain tertera di wadah plastik itu. Tutupnya longgar, warnanya tak semewah Tupperware, tapi tetap saja ibu itu menyebutnya "Tupperware" saat meminta anaknya mengambilnya.
Ternyata fenomena ini bukan cuma di warung kopi itu. Saya juga menjumpainya di beberapa rumah warga lain. Semua wadah plastik, meski bukan merek asli, tetap saja disebut Tupperware dengan penuh keyakinan.
Dalam kajian semiotika, hal ini disebut generikasi merek. Fenomena saat satu merek menjadi istilah umum untuk menyebut barang serupa. Roland Barthes menyinggung ini dalam Mythologies (1957).
Kita mengenalnya juga pada sebutan "Aqua" untuk semua air mineral, "Indomie" untuk segala mie instan, atau "Odol" untuk segala jenis pasta gigi. Sebuah bentuk dominasi simbolik dalam keseharian.
Dalam linguistik, ini disebut eponim. Nama merek yang berubah menjadi istilah generik. Tupperware menjadi eponim kuat di ruang domestik, terutama dapur desa, menandai peran bahasa dalam budaya konsumsi.
Tupperware tidak lagi sekadar produk plastik, tapi telah menjadi kosakata lokal. Digunakan di pasar, rumah, dan warung, namanya disebut tanpa memedulikan merek sebenarnya, karena ia sudah menyatu dengan fungsi.
Sosiolog Arjun Appadurai mengatakan bahwa objek keseharian membentuk imajinasi budaya masyarakat (The Social Life of Things, 1986). Maka Tupperware telah menjadi bagian dari imajinasi dapur masyarakat desa.