Perbincangan tentang Gen Z seperti tak pernah selesai. Generasi yang tumbuh dalam dunia digital ini selalu menarik untuk dibahas, terutama ketika mereka mulai masuk ke dunia kerja yang penuh dinamika dan persaingan yang semakin spesifik. Mereka hadir membawa semangat baru, cara pandang berbeda, dan harapan besar akan perubahan.
Salah satu peluang kerja yang kini mulai dilirik Gen Z adalah dunia pendampingan desa. Menjadi Pendamping Lokal Desa (PLD) tidak hanya berarti memiliki pekerjaan tetap, tetapi juga membuka ruang kontribusi nyata dalam pembangunan di akar rumput.
Namun, untuk bisa masuk dan diterima di dunia kerja program pendampingan desa bukan perkara mudah. Ada proses seleksi yang cukup ketat dan kompetitif. Dan dua hal yang sering menjadi titik lemah Gen Z justru adalah portofolio dan percaya diri.
Gen Z dikenal sebagai generasi yang kreatif, melek teknologi, dan cepat belajar. Tapi hal itu belum tentu terlihat jelas saat mereka mengirimkan lamaran atau menjalani wawancara kerja. Banyak dari mereka yang justru kurang mampu menunjukkan rekam jejak kontribusi sosial yang relevan.
Padahal, sebagai PLD, pengalaman di bidang sosial kemasyarakatan sangat dibutuhkan. Portofolio di sini bukan soal akademik semata, tapi tentang sejauh mana pelamar punya rekam aksi---baik sebagai relawan, penggerak komunitas, fasilitator, atau inisiator kegiatan di masyarakat.
Sayangnya, sebagian besar Gen Z belum memahami bahwa pengalaman-pengalaman itu bisa dan seharusnya disusun menjadi kekuatan dalam portofolio. Bukan sekadar daftar kegiatan, tapi disajikan dengan narasi peran, dampak, dan pelajaran yang mereka petik.
Portofolio yang baik bisa menjelaskan bahwa mereka bukan hanya paham teori, tapi juga pernah terlibat langsung dalam dinamika masyarakat. Ini menjadi nilai plus di mata tim seleksi, yang mencari orang-orang yang siap terjun, bukan sekadar pintar bicara.
Lebih jauh lagi, portofolio yang ditata rapi menunjukkan bahwa pelamar serius, punya arah, dan mampu merefleksikan pengalaman. Ini sekaligus jadi alat ukur apakah mereka cocok berada di lapangan, mendampingi masyarakat desa yang kompleks dan beragam.
Sementara itu, tantangan kedua adalah percaya diri. Tidak sedikit pelamar dari kalangan Gen Z yang gugup saat proses wawancara, bahkan untuk menjelaskan pengalaman diri sendiri. Ada yang terlihat ragu, terlalu singkat menjawab, atau sebaliknya---melebar tanpa fokus.
Padahal wawancara kerja untuk posisi PLD seringkali menguji bukan hanya isi kepala, tapi juga ketegasan sikap, empati, dan kemampuan komunikasi. Pelamar harus bisa menjelaskan dengan lugas: mengapa mereka tertarik jadi PLD dan apa kontribusi yang bisa mereka bawa.