Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kalah 1-5? Tenang, Itu Bagian dari Proses!

22 Maret 2025   16:06 Diperbarui: 22 Maret 2025   16:06 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Image by stockking on Freepik)

Sebenarnya saya malas mengulas kekalahan ini, sebab jauh-jauh hari kekalahan ini sudah tampak seperti keyakinan bahwa matahari akan terbit dari timur esok hari. Sejak Shin Tae-yong diganti, harapan mulai pudar, dan kekalahan hanya tinggal menunggu waktu.

Sepak bola Indonesia kembali menunjukkan keistimewaannya. Kekalahan telak 1-5 dari Australia bukan sekadar hasil pertandingan, melainkan bukti bahwa kita masih setia pada tradisi: membangun ekspektasi tinggi, lalu menghancurkannya sendiri. Sebuah siklus yang terus berulang tanpa pernah benar-benar berubah (Anderson, 2014).

Sebelum pertandingan, euforia melanda. Nama besar Patrick Kluivert, legenda sepak bola Eropa, seolah menjadi garansi perubahan instan. Tak perlu sistem, tak perlu perencanaan panjang. Cukup ganti pelatih, lalu berharap mukjizat. Begitulah cara kita memahami sepak bola (Prasetyo, 2021).

Lalu pertandingan dimulai. Penalti didapat, harapan membuncah. Namun, seperti biasa, harapan itu terlalu berat untuk digenggam. Kevin Diks gagal mengeksekusi. Australia, tanpa ampun, mengingatkan kita bahwa sepak bola bukan soal nama besar, melainkan kerja tim yang solid dan terencana (Miller, 2018).

Lima gol bersarang di gawang Indonesia. Satu per satu tercipta, seolah menjadi pengingat bahwa sepak bola kita masih berada di titik yang sama. Pergantian pelatih di tengah jalan justru menjadi pisau bermata dua. Pemain bingung, strategi tak jelas, dan hasilnya bisa ditebak (Santoso, 2020).

Setelah peluit panjang berbunyi, narasi klasik pun muncul. "Ini bagian dari proses." "Tim butuh waktu." "Pemain masih adaptasi." Sebuah kumpulan kalimat ajaib yang selalu muncul setiap kali Indonesia kalah. Mantra yang terus diulang agar publik tetap sabar.

Namun, sampai kapan? Sudah berapa kali "proses" ini dijalankan? Berapa kali pelatih berganti, dengan janji perubahan yang ternyata hanya mitos? Seakan-akan, pergantian pelatih adalah ritual wajib yang harus dijalani setiap kali tim mengalami kesulitan.

Sepak bola bukan soal instan. Negara-negara lain membangun sistem bertahun-tahun sebelum menuai hasil. Jepang butuh 20 tahun sejak reformasi J-League untuk menjadi kekuatan Asia. Vietnam merancang strategi sejak 2008 sebelum akhirnya mampu menyaingi tim-tim besar.

Sementara itu, kita? Masih sibuk mengkhayal bahwa seorang pelatih baru bisa menyulap tim dalam hitungan bulan. Seperti memasak mi instan, kita berharap sepak bola bisa matang dalam tiga menit. Sayangnya, dunia nyata tidak bekerja seperti itu.

Kini, ranking FIFA Indonesia kemungkinan besar akan turun lagi. Sebelum laga ini, kita sempat merasa bangga dengan kenaikan peringkat. Namun, kekalahan telak seperti ini hanya akan membuat posisi kita kembali melorot. Siklus naik-turun yang tidak pernah benar-benar membawa perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun