Rumor tentang tahapan “bersih-bersih” pendamping desa berikutnya oleh Kementerian Desa (Kemendes) ramai beredar di grup WhatsApp. Isu ini mencuatkan tiga poin utama: pemberhentian pendamping desa yang melakukan double job, berusia di atas 50 tahun, dan tidak bersertifikasi.
Jika rumor ini benar, langkah tersebut patut dipertanyakan. Alih-alih fokus pada kriteria administratif, Kemendes seharusnya lebih menertibkan pendamping desa yang terlibat dalam praktik cawe-cawe dengan desa.
Praktik cawe-cawe ini kerap terjadi di lapangan. Banyak oknum pendamping desa yang memanfaatkan posisinya untuk mengerjakan proyek desa. Padahal, program ini sejak awal melarang keras pendamping desa terlibat dalam proyek infrastruktur desa.
Namun, oknum tersebut dengan lihai menggunakan perusahaan yang dibuatnya, seringkali mengatasnamakan keluarga, untuk mengerjakan proyek tersebut, bahkan ada yang dengan bangga bercerita. Ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang merugikan desa dan masyarakat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sutoro Eko dkk. (2015) dalam buku “Desa Membangun Indonesia”, pendamping desa seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan eksekutor.
Mereka harus membantu desa dalam merencanakan dan mengawasi pembangunan, bukan terlibat langsung dalam pelaksanaan proyek. Praktik cawe-cawe ini justru mengaburkan peran tersebut dan menciptakan konflik kepentingan.
Jika Kemendes serius ingin membersihkan barisan mereka yang masuk dalam tiga kategori tersebut, langkah pertama yang harus diambil adalah menertibkan praktik cawe-cawe ini.
Tentu, ini jauh lebih adil dan berdampak positif bagi pembangunan desa. Pemberhentian berdasarkan usia atau sertifikasi justru terkesan diskriminatif dan tidak menyentuh akar masalah.
Selain itu, pemberhentian pendamping desa yang berusia di atas 50 tahun juga patut dipertanyakan. Usia seharusnya bukan menjadi ukuran kinerja. Banyak pendamping desa yang berusia di atas 50 tahun justru memiliki pengalaman dan dedikasi yang tinggi.
Sertifikasi juga bukan jaminan kualitas. Meski penting, sertifikasi hanyalah salah satu alat untuk meningkatkan kompetensi. Fokus pada sertifikasi tanpa memperbaiki sistem pengawasan dan akuntabilitas hanya akan menciptakan pendamping desa yang “bersertifikat” tetapi tetap korup.