Di halaman luas sebuah desa di Lombok yang digunakan sebagai tempat memasak, seorang pria paruh baya mengenakan dodot—ikat pinggang besar khas Sasak—mengaduk perlahan kuah dalam sendok kayu. Wajahnya tetap tenang, tanpa anggukan antusias atau kerutan di dahi. Setelah beberapa saat, ia berbisik pelan, “Tambahkan sedikit garam, supaya rasanya lebih pas.”
Ia adalah bagian dari “Ran,” orang-orang yang dipercaya sebagai penjaga rasa dalam tradisi roah dan begawe. Keberadaan mereka lebih dari sekadar juru rasa. Ran memiliki tanggung jawab besar, tidak hanya memastikan makanan layak disajikan tetapi juga menjaga kehormatan dapur.
Dalam tradisi kuliner Sasak, makanan bukan sekadar olahan bumbu dan bahan. Ia adalah bagian dari budaya dan harga diri keluarga penyelenggara hajatan. Karena itu, setiap sajian harus sempurna. Namun, kesempurnaan itu tidak lahir dari kritik yang kasar atau celaan pedas. Ada etika yang harus dijaga.
Ran memahami bahwa lidah manusia memiliki selera yang berbeda-beda. Yang asin bagi satu orang mungkin pas bagi yang lain. Yang hambar bagi satu orang bisa jadi disukai yang lain. Karena itu, mereka tidak pernah mengatakan “tidak enak”. Kalimat yang keluar selalu berisi saran, bukan vonis.
Sebuah konsep yang sejalan dengan teori kritik konstruktif dalam kajian komunikasi budaya (Halliday, 1994). Kritik yang membangun bukan hanya tentang apa yang salah, tetapi bagaimana memperbaikinya.
Di banyak daerah lain, juru masak profesional memiliki peran yang sama, meski dengan pendekatan yang lebih akademis. Dalam dunia kuliner modern, restoran-restoran berbintang memiliki food tester atau quality control yang bertugas memastikan setiap sajian memenuhi standar.
Namun, di Lombok, tradisi ini telah berlangsung turun-temurun tanpa sistem tertulis. Ran bekerja berdasarkan pengalaman dan kepekaan rasa yang diasah bertahun-tahun (Kartakusuma, 2009).
Selain sebagai pencicip, ran juga bertugas menjaga makanan dari gangguan. Mitos yang berkembang menyebutkan bahwa ada orang-orang tertentu yang bisa mengacaukan masakan dalam acara besar. Tiba-tiba gulai menjadi basi sebelum matang, atau nasi tidak kunjung tanak meskipun sudah lama di atas perapian.
Mungkin bagi sebagian orang ini hanya tahayul, tetapi di masyarakat tradisional, kepercayaan ini masih kuat. Kehadiran ran memberi rasa aman bahwa makanan akan tetap terjaga, baik dari kesalahan teknis maupun gangguan yang tidak terlihat (Budiwiyanto, 2012).
Dalam menjaga keseimbangan rasa agar netral di segala lidah, dalam setiap roah maupun begawe selalu disajikan dua jenis masakan berkuah, yakni sayur nangka dan kuah daging. Sayur nangka berfungsi sebagai penetral rasa, sementara kuah daging menjadi pendongkrak rasa bagi mereka yang merasa kurang. Selain itu, dalam penyajian, setiap nampan juga selalu ditaruh garam, sehingga setiap orang bisa menyesuaikan rasa sesuai selera mereka masing-masing.