Sate kurma itu terhidang di atas nampan kayu. Warna kecokelatan dari buah kurma yang ditusuk dengan daging menciptakan kontras yang menggoda selera. Di sekelilingnya, santri-santri menunggu dengan penuh antusias. Ini bukan hidangan biasa. Ini adalah berkah Ramadan.
Saya masih ingat betul ketika pertama kali mencicipi hidangan istimewa ini. Saat itu, saya mengikuti training pengelola jurnal di salah satu pesantren di Jawa Timur. Seorang kiai mengatakan bahwa sate kurma adalah sajian spesial yang hanya muncul di bulan suci. Ada nuansa spiritual yang mengiringinya.
Di pesantren itu, sate kurma tidak hanya sekadar makanan berbuka. Sebelum diracik, para santri membacakan sholawat bersama. Sebuah pengingat akan anjuran Nabi Muhammad untuk berbuka dengan kurma (HR. Abu Dawud No. 2356). Ritual ini menghadirkan suasana syahdu di antara gemuruh persiapan berbuka.
Sate kurma bukan sekadar perpaduan rasa manis dan gurih. Ia adalah warisan tradisi yang terus dijaga. Para santri menyebutnya sebagai “hidangan berkah,” yang disiapkan dengan penuh doa dan harapan. Sebuah simbol kebersamaan yang mengikat seluruh penghuni pesantren.
Di meja kayu panjang, para santri menikmati hidangan ini dengan senyum mengembang. Ada yang memakannya dengan hati-hati, menikmati setiap gigitan. Ada pula yang melahapnya dalam sekali suapan. Rasanya, seperti Ramadan yang dirangkum dalam satu tusukan sate.
Hidangan ini mengingatkan saya pada penelitian mengenai kuliner pesantren yang mencatat bahwa banyak pondok pesantren di Indonesia memiliki sajian khas Ramadan yang bukan hanya soal rasa, tetapi juga memiliki makna spiritual (Tebuireng Online, 2023). Sate kurma adalah salah satunya.
Saya bertanya pada salah satu santri senior, dari mana tradisi ini berasal. Ia tersenyum. “Sejak dulu, Kiai selalu ingin Ramadan menjadi bulan yang berbeda. Kami diajarkan untuk mengolah kurma dengan cara yang lebih istimewa.” Sebuah pesan sederhana, tapi sarat makna.
Tak ada catatan tertulis tentang kapan pertama kali sate kurma muncul di pesantren ini. Namun, ia terus hadir, tahun demi tahun. Sebuah warisan lisan yang terjaga melalui tangan-tangan yang memasaknya dengan penuh keikhlasan.
Menurut penelitian tentang kuliner pesantren, makanan dalam budaya pesantren memiliki peran lebih dari sekadar pemenuhan gizi. Ia menjadi bagian dari pendidikan karakter dan pembelajaran spiritual (ejurnalunsam.id, 2023). Sate kurma mencerminkan filosofi tersebut.
Mencicipi sate kurma membuat saya menyadari sesuatu. Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga. Ia juga tentang merayakan kebersamaan, menjaga tradisi, dan menemukan makna dalam setiap suapan makanan.