Belakangan ini, muncul diskusi mengenai surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh Tenaga Pendamping Profesional (TPP). Surat tersebut menyatakan bahwa mereka tidak pernah melanggar ketentuan Undang-Undang Pemilu dan bersedia menerima konsekuensi hukum jika terbukti melanggar aturan tersebut. Tulisan ini akan mencoba mendudukkan persoalan antara BPSDM dan TPP terkait surat pernyataan yang dimaksud.Â
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal mengeluarkan surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh TPP. Isinya menyatakan bahwa mereka tidak pernah melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Undang-undang tersebut telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Perubahan itu mengatur lebih lanjut mengenai pencalonan dalam pemilu, termasuk bagi mereka yang terikat kontrak sebagai tenaga profesional.
Selain itu, dalam surat pernyataan tersebut, TPP harus menyatakan kesediaan untuk diberhentikan sepihak apabila terbukti pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD tanpa mengajukan cuti atau mengundurkan diri terlebih dahulu sebagai tenaga pendamping profesional.
Pernyataan tersebut juga memuat konsekuensi berupa kewajiban mengembalikan kerugian keuangan negara apabila terdapat dampak finansial dari tindakan mereka. Jika mereka melanggar pernyataan ini, maka mereka bersedia dituntut secara hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun, kebijakan ini menuai kontroversi. Banyak pihak menilai bahwa surat pernyataan ini berlaku surut. Sebab, sebelumnya banyak TPP yang telah mencalonkan diri dalam pemilu, dan kebijakan ini seolah-olah baru diberlakukan setelah mereka akan menerima Surat Perintah Kerja (SPK).
Dasar hukum dari kebijakan ini juga dipertanyakan. Surat Nomor 1261/HKM.10/VI/2023 yang dikeluarkan BPSDM merupakan respons terhadap surat KPU RI Nomor 582/PL.01.4-SD/05/2023 tanggal 9 Juni 2023. Surat tersebut membahas status pekerjaan TPP dalam konteks pemilu.
Dalam surat tersebut, dinyatakan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Desa, PDTT RI Nomor 143 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendampingan Masyarakat Desa, rekrutmen serta perpanjangan kontrak TPP dilakukan melalui mekanisme pengadaan barang/jasa, bukan melalui pengangkatan pegawai.
Karena itu, status TPP bukanlah pegawai atau karyawan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 Ayat 1 Huruf k Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Hal ini menimbulkan ketidaksesuaian dalam regulasi mengenai hak politik mereka sebagai warga negara.
Surat dari BPSDM juga menyatakan bahwa tidak ada aturan di tingkatan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun keputusan menteri yang secara eksplisit melarang TPP menjadi anggota partai politik atau mencalonkan diri dalam pemilu.