Nak, dunia tempatmu tumbuh sangat berbeda dengan dunia yang dulu Ayah kenal. Dulu, pertemanan dibangun dari tatapan mata dan suara tawa yang terdengar langsung, bukan dari deretan pesan atau emoji yang diketik di layar.
Dulu, kesalahan yang kami buat hanya menjadi pelajaran pribadi, bukan jejak yang abadi di dunia maya. Ayah ingin kau membaca kisah ini, agar kau tahu betapa pentingnya menjaga diri dalam ruang yang tak selalu terlihat nyata.
Sebenarnya, pesan ini telah lama ingin Ayah sampaikan, tetapi baru sekarang Ayah menemukan cara yang ayah anggap tepat.
_____
Malam itu, Alda duduk di meja belajarnya dengan ponsel di tangan. Cahaya layar memantulkan bayangan di wajahnya yang serius. Ia sedang sibuk membalas pesan dari seseorang yang baru dikenalnya di media sosial.
Namanya Raka. Profilnya tampak meyakinkan—foto yang menarik, cara berbicara yang sopan, dan obrolannya selalu menyenangkan. Sudah seminggu mereka saling bertukar cerita, dan Alda merasa nyaman. Raka selalu tahu cara membuatnya tertawa dan merasa dihargai.
“Aku suka banget ngobrol sama kamu, Alda. Rasanya kita udah kenal lama,” tulis Raka.
Alda tersenyum. “Aku juga! Seneng ada yang bisa diajak cerita tentang apa aja.”
Tapi entah kenapa, malam itu ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia ingat ayahnya pernah berkata, “Jangan terlalu cepat percaya pada orang di internet. Tidak semua yang tampak baik benar-benar baik.”
Ia mengabaikan rasa ragu itu, hingga suatu malam Raka mengirim pesan yang membuatnya terdiam.