Di banyak keluarga, perbedaan generasi sering kali menjadi batas yang memisahkan. Namun, di keluarga kami, ada sesuatu yang tetap lestari meskipun zaman terus berubah. Dua hal itu adalah kebiasaan bercerita dan kegemaran bermain tanah.
Generasi Z di keluarga kami tumbuh di tengah transisi besar teknologi. Mereka lahir ketika internet mulai merambah kehidupan sehari-hari, tetapi masa kecil mereka masih akrab dengan permainan luar ruang. Kebiasaan bercerita dan imajinasi mereka berkembang melalui pengalaman langsung, bukan sekadar dari layar gadget.
Kini, generasi Alpha mulai mengisi rumah kami. Mereka lahir ketika dunia digital sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Banyak di antara mereka yang sejak dini sudah terbiasa dengan layar sentuh. Namun, yang menarik, mereka tetap suka bermain di luar, berlarian di tanah, seperti kakak-kakak mereka dulu.
Apa yang terjadi di keluarga kami ini terasa unik jika dibandingkan dengan kecenderungan umum. Banyak penelitian menunjukkan bahwa generasi Alpha lebih terikat dengan gawai dibanding generasi sebelumnya (Twenge, 2017). Namun, dalam lingkungan yang mendukung, mereka masih bisa menikmati dunia nyata seperti anak-anak di masa lalu.
Kegemaran bercerita adalah ciri khas generasi yang tumbuh dengan banyak interaksi sosial. Di keluarga kami, anak-anak generasi Z dan Alpha sama-sama senang bercerita, berbagi kisah, dan menghidupkan kembali cerita yang mereka dengar. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa tradisi lisan tetap bertahan di tengah arus digitalisasi (Ong, 1982).
Bercerita adalah bagian dari kebudayaan manusia yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Dahulu, kisah-kisah diceritakan secara lisan di sekitar perapian atau ruang keluarga. Kini, meskipun banyak anak akrab dengan konten digital, dorongan untuk berbagi cerita tetap ada.
Kemampuan bercerita berkaitan erat dengan perkembangan kognitif dan sosial. Jean Piaget (1952) menyebutkan bahwa anak-anak membangun pemahamannya tentang dunia melalui pengalaman dan interaksi. Semakin sering mereka bercerita, semakin terasah pula kemampuan berpikir dan berkomunikasi mereka.
Di sisi lain, bermain tanah tampaknya bertahan sebagai pengalaman masa kecil yang universal. Bermain di luar memberi anak-anak kesempatan untuk mengeksplorasi, berinteraksi, dan memahami dunia nyata dengan cara yang tak tergantikan oleh teknologi (Louv, 2008).
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak anak di kota-kota besar kehilangan kesempatan bermain di luar karena keterbatasan ruang dan meningkatnya kekhawatiran orang tua terhadap keselamatan. Namun, di keluarga kami, hal itu tidak terjadi. Anak-anak tetap berlarian, membangun istana pasir, dan menggali tanah dengan tangan mereka sendiri.
Richard Louv dalam bukunya Last Child in the Woods (2008) menyebut fenomena ini sebagai nature-deficit disorder, yaitu kurangnya keterhubungan anak-anak dengan alam. Louv berargumen bahwa anak-anak yang kurang bermain di luar cenderung mengalami kesulitan dalam kreativitas dan kesehatan mental mereka.