Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Cancel Culture Bertabrakan dengan Moralitas Adat

9 Februari 2025   20:18 Diperbarui: 9 Februari 2025   20:18 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cancel culture (sumber: Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay)

Cancel culture telah menjadi bagian dari kehidupan digital. Sebuah fenomena di mana seseorang mengalami boikot sosial karena tindakan atau ucapannya yang dianggap tidak sesuai dengan nilai moral publik. Media sosial menjadi alat utama dalam praktik ini. Sekali tersandung, gelombang kecaman tak terbendung.

Di Indonesia, fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia hiburan. Kasus demi kasus memperlihatkan bagaimana masyarakat bereaksi terhadap isu-isu kontroversial. Namun, dalam banyak situasi, apakah cancel culture adalah solusi terbaik? Seberapa jauh seseorang harus dihukum atas kesalahannya?

Standar moral yang digunakan dalam cancel culture sering kali tidak memiliki pedoman yang jelas. Moralitas masyarakat begitu subjektif. Apa yang dianggap salah oleh satu kelompok, bisa jadi masih diterima oleh kelompok lain. Dalam masyarakat adat, standar etika sering kali lebih terstruktur.

Di Lombok Utara dan Lombok Barat, ada Majelis Krama Desa (MKD). Sebuah lembaga adat yang berfungsi sebagai penjaga norma dan moralitas masyarakat Sasak. Lembaga ini memiliki peran penting dalam menyelesaikan konflik sosial. Namun, di era digital, peran lembaga adat seperti ini semakin tergerus.

Contoh kasus yang sempat menggemparkan Indonesia adalah polemik Saiful Jamil. Setelah bebas dari penjara, kehadirannya di televisi menuai protes. Banyak yang menganggapnya tidak pantas kembali ke industri hiburan. Petisi pun dibuat, hingga akhirnya berbagai stasiun televisi memilih untuk menjauhinya. (Kompas, 2021)

Kasus ini menarik, karena meskipun hukum negara telah menyelesaikan perkara tersebut, masyarakat tetap menjatuhkan hukuman sosial. Di masyarakat adat, penyelesaian kasus semacam ini akan melibatkan tokoh adat dan mekanisme adat. Seorang pelaku diberikan ruang untuk memperbaiki diri, bukan sekadar dihukum seumur hidup.

Di daerah lain, penyelesaian berbasis adat juga masih berlaku. Di Bali, desa pakraman memiliki aturan sendiri dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Mereka menggunakan musyawarah dan pemulihan sosial. Cara ini sering kali lebih efektif dalam menjaga harmoni sosial dibandingkan sekadar menghakimi di media sosial. (Warna, 2019)

Cancel culture sering kali mengabaikan prinsip keadilan restoratif. Dalam hukum adat, kesalahan seseorang tidak serta-merta membuatnya kehilangan tempat di masyarakat. Ada mekanisme pemulihan yang memungkinkan individu kembali diterima. Sesuatu yang sering tidak diberikan dalam budaya cancel culture.

Kasus lain yang bisa menjadi refleksi adalah kasus Baim Wong. Kontennya yang dinilai merendahkan aparat polisi membuatnya dikecam. Banyak yang menyerukan pemboikotan terhadap dirinya. Padahal, dalam konteks budaya adat, seseorang yang bersalah akan diminta untuk meminta maaf secara langsung kepada pihak yang dirugikan. (Tempo, 2022)

Jika standar moral adat diterapkan, polemik semacam ini tidak akan berlarut-larut. Proses mediasi bisa dilakukan dengan melibatkan tokoh adat. Kesalahan dapat ditebus dengan permintaan maaf atau tindakan sosial yang menebus kesalahan. Tidak ada penghakiman yang terus-menerus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun