Langit pagi di Sekotong mulai merekah, membiaskan rona jingga di atas permukaan laut yang tenang. Pantai-pantai yang mengular dari Teluk Mekaki hingga Bangko-Bangko tampak memesona. Ombak yang berkejaran menjadi saksi bisu betapa kawasan ini menyimpan potensi besar sebagai destinasi wisata unggulan di Lombok Barat.
Namun, di balik keindahan itu, Sekotong juga menyimpan tantangan. Eksploitasi tambang emas tradisional masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Jejak lubang galian, limbah merkuri, dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang bergantung pada tambang menjadi bagian dari wajah Sekotong saat ini (Syarif, 2020).
Bupati Lombok Barat terpilih, H. Lalu Ahmad Zaini (LAZ), membawa gagasan baru. Ia ingin mengubah Sekotong menjadi kawasan wisata berbasis klaster dengan konsep ekowisata syariah. Ini bukan sekadar gagasan utopis, melainkan visi yang mengakar pada prinsip pembangunan berkelanjutan dan kearifan lokal (faktantb.com, 04/02/2025).
Ekowisata syariah bukan hanya soal halal-haram. Ia mencakup keseimbangan antara manusia dan alam, menjaga kelestarian lingkungan sambil tetap memberikan manfaat ekonomi. Konsep ini mengusung prinsip ‘green tourism’, termasuk penerapan tambang ramah lingkungan atau ‘green mining’. Tantangannya adalah bagaimana mengubah praktik pertambangan yang merusak menjadi aktivitas yang lebih berkelanjutan.
Beberapa ahli lingkungan menilai bahwa penerapan ‘green mining’ di Sekotong dapat diwujudkan dengan regulasi yang ketat, penggunaan teknologi pengolahan tanpa merkuri, serta kemitraan dengan perusahaan tambang yang memiliki standar lingkungan tinggi (Sutrisno, 2022).
Langkah pertama adalah rehabilitasi lahan bekas tambang. Lubang-lubang galian perlu direklamasi dengan tanaman keras yang mampu menahan erosi. Dalam konteks ekowisata syariah, tanaman yang dipilih sebaiknya memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat, seperti pohon kelor, kopi, atau rempah-rempah. Rehabilitasi ini bisa menjadi bagian dari paket wisata edukasi tentang restorasi lingkungan (Hasan, 2021).
Selanjutnya, membangun infrastruktur wisata yang ramah lingkungan. Fasilitas penginapan berbasis ekologi, seperti homestay berbahan bambu atau kayu daur ulang, bisa menjadi daya tarik tersendiri. Setiap akomodasi wajib menerapkan prinsip syariah, seperti penyediaan makanan halal, pengelolaan limbah yang baik, serta fasilitas ibadah yang memadai (Yunus, 2020).
Salah satu inisiatif yang bisa dikembangkan adalah wisata edukasi tambang. Alih-alih menutup tambang secara total, pemerintah bisa mengubahnya menjadi destinasi wisata yang mengedukasi pengunjung tentang sejarah pertambangan, dampaknya terhadap lingkungan, serta upaya rehabilitasi yang dilakukan. Ini sudah diterapkan di beberapa negara, seperti Jerman dan Kanada, dengan konsep ‘mine tourism’ (Schneider, 2019).
Dari sisi ekonomi, penerapan ekowisata syariah bisa membuka peluang baru bagi masyarakat. UMKM berbasis produk lokal, seperti kerajinan tangan dari limbah tambang atau produk makanan berbasis hasil laut, bisa menjadi bagian dari ekosistem wisata ini. Sentra kuliner halal di tepi pantai dapat menjadi daya tarik tambahan bagi wisatawan Muslim yang ingin menikmati suasana alam sambil tetap menjalankan prinsip kehalalan (Rahmat, 2022).
Tantangan terbesar dari implementasi ini adalah mindset masyarakat. Tambang telah menjadi mata pencaharian turun-temurun, sehingga perubahan sistem ekonomi harus dilakukan secara bertahap. Pendekatan partisipatif yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat menjadi kunci agar transformasi ini berjalan tanpa gejolak (Marzuki, 2023).