Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kore-Kore: Kritik Visioner Tuan Guru Mustafa Umar terhadap Kurikulum Pendidikan Islam

2 Februari 2025   21:15 Diperbarui: 2 Februari 2025   21:15 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tuan Guru Mustafa Umar Abdul 'Aziz (sumber: dokumen Syarif Hidayatullah, 2024)

Pendidikan Islam selalu menjadi perbincangan serius, terutama dalam konteks kurikulum yang menjadi tulang punggung pencapaian tujuan pendidikan. Kurikulum tidak hanya sekadar dokumen tertulis, tetapi juga mencerminkan visi dan misi sebuah lembaga pendidikan dalam membentuk generasi yang beriman, berakhlak mulia, dan mampu menjawab tantangan zaman. 

Dalam praktiknya, kurikulum pendidikan Islam sering kali dihadapkan pada berbagai problematika, mulai dari ketidaksesuaian tujuan, materi, hingga evaluasi yang kurang menyentuh aspek pembentukan karakter peserta didik.

Salah satu tokoh yang memberikan kritik tajam terhadap kurikulum pendidikan Islam adalah Tuan Guru Mustafa Umar, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah di NTB. Melalui konsep kore-kore, ia menolak kurikulum pemerintah (kurikulum tahun 1975) yang dinilai tidak mengakomodir tujuan pendidikan Islam yang sejati, yaitu membentuk manusia yang berakhlakul karimah dan berkepribadian al-Quran. 

Konsep ini lahir dari kegelisahannya melihat pendidikan formal yang hanya mengejar kemampuan kognitif semata, tanpa menyentuh aspek afektif dan psikomotorik peserta didik.

Tuan Guru Mustafa, yang pernah belajar dan mengajar di Masjidil Haram Mekah, mencermati bahwa kurikulum pemerintah waktu itu tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan pengetahuan agama. Meskipun kurikulum 1975 telah memberikan porsi 30% untuk pelajaran agama, implementasinya dinilai tidak memuaskan (Dhaifi, 2017).

Hal ini mendorongnya mengambil langkah radikal dengan tidak mendirikan pendidikan formal di pesantrennya. Sebagai gantinya, ia membangun lembaga tahfidzul Quran dan madrasah diniyah dengan kurikulum yang diadopsi dari halaqah Masjidil Haram.

Konsep kore-kore ini bukan sekadar kritik, tetapi juga sebuah upaya untuk membalik paradigma yang berkembang saat itu. Di tengah maraknya lembaga pendidikan Islam yang mendirikan sekolah formal sebagai bentuk eksistensi, Tuan Guru Mustafa Umar justru memilih jalur berbeda.

Ia menekankan pentingnya pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik melalui penguasaan ilmu agama dan hafalan Quran. Hal ini tercermin dari lembaga yang didirikannya, yang bertujuan mencetak kader ulama yang hafal Quran dan menguasai ilmu agama.

Kritik Tuan Guru Mustafa Umar terhadap kurikulum pemerintah tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis. Ia melihat bahwa pendidikan formal yang ada, seperti sekolah Al-Muslimun yang dipimpin oleh kakaknya, tidak banyak memberikan perubahan signifikan terhadap anak didik. 

Banyak alumni yang masih gemar melanggar syariat Islam. Hal ini semakin meyakinkannya bahwa kurikulum yang digunakan tidak “mencerdaskan” dalam arti yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun