Di sebuah sudut ruang dosen yang sunyi, pria itu termenung. Ia baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari itu, membahas teori-teori pembangunan yang telah berulang kali ia jelaskan selama bertahun-tahun. Namun, ada sesuatu yang berbeda sore itu. Ia merasa hampa, seolah teori-teori yang diucapkannya tak lebih dari kumpulan kata-kata tanpa makna nyata.
Bagi pria ini, seorang dosen dengan gelar yang panjang dan wawasan yang luas, mengajar adalah bagian dari jiwanya. Namun, lama-kelamaan, ia merasakan bahwa apa yang ia berikan kepada para mahasiswanya hanyalah sebagian kecil dari realitas. Dunia akademik tempatnya tinggal terasa seperti menara gading yang kokoh, tetapi terisolasi dari tanah kehidupan yang sebenarnya. Desa, dengan segala potensi dan tantangannya, menjadi bayang-bayang yang terus memanggil di benaknya.
Desa itu, baginya, adalah ruang nyata tempat perubahan seharusnya dimulai. Tetapi ironisnya, ia menyadari bahwa pengalamannya di desa sangatlah terbatas. Ia hanya mengenal desa dari data statistik, laporan penelitian, dan analisis makro yang kering. Ia merasa seperti seorang dokter yang hanya mempelajari teori tanpa pernah bertemu pasien.
Keputusan besar itu pun lahir. Ia mendaftar menjadi pendamping desa. Banyak yang meragukan keputusannya. Rekan-rekannya di kampus memandangnya aneh, bahkan ada yang menyebutnya “gila.” Bagaimana tidak? Ia meninggalkan kenyamanan ruang kelas dan kesempatan meniti karier akademik dan tinggal menunggu waktu menjadi guru besar, hanya demi pekerjaan yang penuh ketidakpastian. Tetapi bagi pria itu, keputusan ini bukan sekadar pekerjaan; ini adalah panggilan hati. Ia ingin mendekat, mendengar, dan menghidupkan harapan di desa-desa yang sering kali dilupakan.
Awalnya, harapan itu begitu besar. Ia membayangkan akan membawa ilmu-ilmunya ke desa, mengajarkan hal-hal yang selama ini ia pelajari, dan membimbing masyarakat desa agar bangkit dari keterbatasan. Tetapi kenyataan segera menghantamnya dengan keras. Desa tidak hanya tentang pembangunan fisik atau ekonomi; desa adalah tentang manusia, hubungan, budaya, dan politik lokal yang rumit.
Walaupun ada ruang pengabdian bagi dosen, seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau penelitian-penelitian terapan, ia menyadari bahwa itu tak cukup untuk memahami realitas desa yang sebenarnya. Pengabdian itu sering kali bersifat episodik, sekadar menyinggung permukaan tanpa benar-benar menyentuh inti. Kehidupan desa jauh lebih kompleks daripada data yang diolah untuk publikasi atau laporan singkat yang diserahkan sebagai bukti capaian akademik. Desa memerlukan bimbingan yang lebih lama dan mendalam, sesuatu yang tidak bisa dijangkau dengan kunjungan singkat.
Hari-hari pertamanya di desa menjadi pelajaran yang tak pernah ia temui di bangku kuliah. Ia mendapati bahwa setiap teori yang ia bawa dari kampus harus diuji dengan konteks. Tak semua yang ia pelajari relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Bahkan, beberapa kali, ia merasa teori-teori itu justru menjadi penghalang.
Ia pernah mencoba menerapkan sebuah program pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas yang sangat populer di dunia akademik. Namun, ketika dijalankan, ia menemui resistensi yang tak ia duga. Ada tokoh-tokoh masyarakat yang merasa terancam, kepala desa yang curiga, hingga warga yang tak tertarik karena merasa kebutuhan mereka berbeda. Ia mulai memahami bahwa di desa, politik lokal adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Dalam salah satu pertemuannya dengan kelompok tani, seorang warga berkata dengan nada bercanda, “Pak, teori itu bagus, tapi kami lebih butuh pupuk dan air.” Kalimat itu terdengar ringan, tetapi menusuk dalam. Ia sadar, desa bukan sekadar ruang eksperimen teori; desa adalah kehidupan nyata, di mana kebutuhan dasar adalah prioritas yang tak bisa diabaikan.
Kadang, rasa frustrasi datang menghantam. Ada momen-momen ketika ia merasa ingin menyerah, terutama saat politik desa mulai menyentuh ranah kerjanya. Ia pernah menjadi sasaran gosip karena dianggap berpihak pada salah satu calon kepala desa. Ia pernah juga diabaikan karena usulannya dianggap “terlalu rumit.” Ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, mencoba menyeimbangkan idealismenya dengan realitas yang kadang keras dan tak kenal kompromi.