Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Venezuela Menang, ExxonMobil Kalah; Kapan Nasionalisasi ala Indonesia?

4 Januari 2012   08:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:21 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasionalisasi perusahaan asing ala Presiden Venezuela Hugo Chavez menang melawan ExxonMobil Corp, simbolisasi kapitalisme Amerika Serikat. Nasionalisasi semakin mendapat angin. Mengapa?

International Chamber of Commerce (ICC) memutuskan, Minggu (2/1), perusahaan minyak negara Venezuela, Petroleos de Venezuela SA (PDVSA), “memang memiliki kewajiban kontrak” kepada ExxonMobil. ICC menetapkan ganti rugi 907.588.000 dollar Amerika Serikat akibat kebijakan Venezuela menasionalisasi aset ExxonMobil tahun 2007. Jumlahnya kurang 10 persen dari tuntutan perusahaan minyak raksasa AS itu.

Sekalipun jauh di bawah tuntutan, Senin (2/1), Pemerintah Venezuela dan PDVSA hanya membayar 255 juta dollar AS kepada ExxonMobil. Jumlahnya kurang sepertiga dari putusan badan arbitrase internasional. ICC, berbasis di Paris, merupakan lembaga utama dunia yang mengatasi pertikaian bisnis lintas batas dan menyatakan telah menangani ratus kasus setahun sejak tahun 1999.

Sebelumnya, bulan September 2011, Pemerintah Venezuela menawarkan ganti rugi 907 juta dollar AS atau kurang 1 miliar dollar AS kepada ExxonMobil. ExxonMobil menuntut ganti rugi sekitar 12 miliar dollar AS sambil mengupayakan dua klaim ke badan arbitrase internasional, International Centre for Settlement of Investment Disputes Bank Dunia, menyangkut isu yang sama, yaitu nasionalisasi proyek peningkatan minyak mentah Cerro Negro di Orinoco, Venezuela, salah satu lokasi cadangan minyak mentah terbesar di dunia. Menyangkut isu yang sama, pembicaraan kasus itu dijadwalkan bulan depan dan belum diketahui tanggal putusan.

Jadi, pertarungan Venezuela dan ExxonMobil belum berakhir. Venezuela juga menghadapi belasan klaim perusahaan lain seperti ConocoPhillips dan Gold Reserve Inc. Nasionalisasi di era Chavez meliputi perusahaan telepon CANTV yang dimiliki Verizon (AS), perusahaan listrik Electricidad de Caracas yang dimiliki AES (AS), pembangkit listrik Electrica Saneca yang dimiliki CMS Energy (AS), dan ladang minyak Orinoco Belt yang dimiliki 13 perusahaan asing. Semuanya tahun 2007.

Tahun 2008 Chavez menasionalisasi Banco de Venezuela yang dimiliki bank Spanyol, perusahaan semen Cemex yang dimiliki Cemex (Meksiko), perusahaan semen Holcim yang dimiliki Holcim (Swiss), dan perusahaan tambang emas Crystallex yang dimiliki Crystallex International Corp (Kanada); tahun 2009 menasionalisasi hotel di kepulauan Margarita yang dimiliki Blactone Group (AS); dan tahun 2010 menasionalisasi 11 pengeboran minyak yang dimiliki Helmerich and Payne (AS).

Pertikaian antara Chavez dan ExxonMobil menjadi simbol konflik antara negara yang menginginkan lebih banyak pendapatan industri minyak yang booming dan perusahaan yang kukuh mempertahankan perjanjian investasi dan kompensasi karena pengambilalihan asetnya oleh negara. Nasionalisasi ala Chavez tidak kasar, karena pengambilalihan perusahaan asing disertai pemberian kompensasi yang disepakati bersama atau sesuai dengan nilai aset yang ditaksir badan arbitrase internasional.

Sekalipun masih banyak tantangan, pemerintahan Chavez merayakan putusan ICC sebagai pembenaran nasionalisasi melawan perusahaan minyak di negerinya, yang bertujuan meningkatkan pendapatan negara guna mendanai program pemerintah mengatasi kemiskinan. Ia mengontrol industri minyak sejak tahun 2004 dan negara penghasil minyak lainnya meniru Venezuela, dari Ekuador ke Kazakhstan, tetapi pengkritik menyebut nasionalisasi justru memperlambat investasi asing.

Putusan ICC merupakan kemenangan gerakan neososialisme di Amerika Latin dalam pertarungan melawan liberalisme dan kapitalisme, yang antara lain disimbolisasi ExxonMobil. Neososialisme merupakan gagasan yang menganur prinsip keadilan sosial, yaitu demokrasi yang mengakar, anti-monopoli kekayaan oleh segelintir orang dan kelompok, dan memproteksi kedaulatan negara dari intervensi berlebihan negara maju.

Sebagai antitesis ketidakadilan global, neososialisme sebenarnya selaras dengan falsafah Pancasila yang menjadi dasar negara. Keadilan sosial ala Pancasila mengacu pada virtue of solidarity yang sesuai dengan pengalaman hidup bangsa kita. Merujuk khazanah pemikiran founding fathers, pemikiran neososilaisme bisa berkembang pesat di Indonesia.

Neososialisme membidani rehabilitasi tatanan global yang sekarat ketika liberalisme dan kapitalisme mengalami kegoncangan, maka tak ada salahnya kita mempelajari negara-negara lain yang berhasil keluar dari cengkraman liberalisme dan kapitalisme global yang makin rapuh. Persoalannya, implementasi cenderung diputarbalikkan untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.

Neososialisme memang menyebar selama satu dasawarsa terakhir di Amerika Latin—dari Venezuela, Brasil, Bolivia, Argentina, Ekuador, Uruguay, Nikaragua, Cile, ke Paraguay yang dijuluki corazon de America, jantung Amerika—berhadapan diametral dengan liberalisasi dan kapitalisme yang dikampanyekan AS, sekaligus pendukung utama. Chavez mencatatkan dirinya sebagai pelopor neososialisme.

Pertarungan ideologis itu sekaligus membuktikan hubungan disharmoni AS dengan negara tetangganya di selatan. Faktanya, AS memang kurang memperhatikan pembangunan di Amerika Latin karena mengutamakan kerjasama dan persahabatan dengan negara Eropa dan Asia. Belakangan AS berusaha merangkul negara tetangganya di selatan, tetapi ideologis dan psikologis menjadi penghalang yang terlanjur mengeras.

Nasionalisasi ala Chavez berdasarkan neososialisme yang mengedepankan kemandirian ekonomi yang memihak kepentingan rakyat, bukan kapitalis semata. Ketika arus globalisasi yang diboncengi liberalisasi dan dan kapitalisasi begitu menghegemoni semua lini di dunia ketiga, sangat terbuka peluang bagi paham neososialisme untuk mengalami pertumbuhan pesat dan menjadi arus utama perlawanan terhadap liberalisme dan kapitalisme.

Kemenangan besar Venezuela semakin memotivasi negara penghasil minyak lainnya, tidak terkecuali Indonesia. Lalu, kapan giliran Indonesia menasionalisasi aset perusahaan asing yang mengeruk habis-habisan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang tidak dikuasai oleh negara dan tidak dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat di Indonesia?

Ada banyak seperti PT Freeport Indonesia, ExxonMobil Oil Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, British Petroleum, Chevron Corporation, British Gas International Ltd, Conoco Indonesia, Phillips Oil Company, Shell Companies in Indonesia, Total Indonesia E & P, Unocal Indonesia. Juga perusahaan asing yang menguasai pertelekomunikasian seperti PT Indosat, perusahaan aluminium PT Inalum Indonesia, perusahaan kelapa sawit Malaysia yang merusak hutan di Sumtera, Kalimantan, dan Papua.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun