Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketua DPD Sempat Menyurati Pimpinan DPR Menyikapi Perkembangan Pembahasan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD

12 Agustus 2014   01:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:47 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) sebagai RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Selasa (8/7/2014) malam. RUU yang disetujui bersama DPR dengan Presiden tersebut disampaikan pimpinan DPR kepada Presiden agar disahkan menjadi undang-undang (UU).

Sebelum persetujuan bersama DPR dengan Presiden, Ketua DPD Irman Gusman sempat menyurati pimpinan DPR menyikapi perkembangan pembahasannya. Pembahasan RUU versi DPR memang dijadwalkan selesai sebelum pelantikan anggota DPR dan DPD periode 2014-2019 tanggal 1 Oktober 2014. Dalam pandangan dan usulannya, DPD menganggap materi ayat, pasal, dan/atau bagian RUU itu mengganggu pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional DPD yang nota bene lembaga negara utama (main state organ), karena tidak mengatur posisi DPR, DPD, dan Pemerintah yang setara dalam proses legislasi model tripartit sebagai konsekuensi putusan Mahkamah Konstistusi (MK) tanggal 27 Maret 2013.

“Kami menyikapi perkembangan pembahasan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD,” demikian surat Ketua DPD kepada pimpinan DPR yang bernomor HM.310/358/DPD/VII/2014 dan bertanggal 8 Juli 2014, sebelum DPR dan Pemerintah memberi persetujuan bersama RUU menjadi UU. Belakangan, pimpinan DPR tidak merespon surat Ketua DPD, sehingga tindak lanjut DPD ialah akan mengajukan uji materi (judicial review) ayat, pasal, dan/atau bagian RUU Perubahan UU MD3 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke MK tanggal 15 Agustus 2014.

RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD versi DPR merupakan rumusan Panitia Kerja (Panja) RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Tanggal 24 September 2013, Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR menerima laporan Panitia Kerja (Panja) RUU MD3 yang diketuai Ana Muawanah (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa/F-PKB). Berikutnya tanggal 28 Januari 2014, Rapat Paripurna DPR menyetujuinya sebagai usul inisiatif dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU MD3 DPR yang diketuai Benny Kabur Harman (Fraksi Partai Demokrat/F-PD) bersama dua wakilnya, Fahri Hamzah (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera/F-PKS) dan Ahmad Yani (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan/F-PPP).

Pimpinan DPR menyampaikan RUU dimaksud kepada Presiden dan pimpinan DPD, dengan permintaan kepada Presiden agar menunjuk menteri yang mewakili Presiden dalam pembahasan RUU serta permintaan kepada DPD untuk menunjuk alat kelengkapannya yang membahas RUU itu. Namun, Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD tidak banyak terlibat dalam pembahasan RUU Perubahan UU MD3 yang rampung jauh-jauh hari sebelum tenggat waktunya (tanggal 1 Oktober 2014).

Argumentasi DPD terhadap RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD versi DPR menyangkut rumusan fungsi, tugas, dan wewenang DPR-DPD yang menyinkronisasikan mekanisme kerja kedua lembaga perwakilan; keikutsertaan fraksi membahas RUU tertentu, penyelenggaraan sidang bersama (joint session) DPR-DPD, nomenklatur alat kelengkapan DPD dan panitia kerja sebagai nomenklatur alat kelengkapan DPD, tugas alat kelengkapan DPD yang bidangnya tertentu, serta pengembangan sistem pendukung (supporting system) DPD.

Mengenai fungsi, tugas, dan wewenang DPR, serta fungsi, tugas, dan wewenang DPD, DPD menyoroti materi ayat, pasal, dan/atau bagian RUU yang menyebutkan wewenang DPR dalam membahas RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah) yang diajukan Presiden atau DPR, dengan mengikutsertakan DPD sebelum persetujuan bersama DPR dengan Presiden.

“Rumusan tersebut tidak mengakomodasi RUU dari DPD,” penegasan surat Ketua DPD kepada pimpinan DPR. Jika begitu rumusannya, RUU dari DPD tidak akan dibahas DPR dan Presiden. Tentu saja ketentuan tersebut bertentangan dengan putusan MK ihwal konstitusionalitas hak dan/atau wewenang legislasi DPD, bahwa DPD mengusulkan RUUtertentu sebagaimana ketentuan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945, sehingga RUU dari DPD setara RUU dari DPR dan RUU dari Presiden.

Tentang keikutsertaan fraksi dalam pembahasan RUU tertentu, baik pembahasan tingkat I maupun pembahasan tingkat II, DPD menilai, RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak sesuai putusan MK yang menyatakan pembahasannya dilakukan tiga pihak, yaitu DPR, DPD, dan Presiden. Bagi DPD, RUU Perubahan UU MD3 merugikan hak dan/atau wewenang konstitusionalnya karena putusan MK menegaskan setiap RUU tertentu seharusnya dibahas DPR yang diwakili alat kelengkapannya (bukan fraksi), Presiden yang diwakili menteri, dan DPD yang diwakili alat kelengkapannya.

Ihwal Sidang Bersama DPR-DPD untuk mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden menyambut hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia, Pasal 199 ayat (5) dan Pasal 268 ayat (5) UU MD3 mengatur penyelenggaraannya bergantian oleh DPR atau DPD. Kalau DPR menjadi tuan rumah, Ketua DPR selaku ketua sidang; sedangkan kalau DPD menjadi tuan rumah, Ketua DPD selaku ketua sidang. DPD berpendapat, “Sebaiknya sidang bersama dihidupkan kembali karena sudah merupakan praktik ketatanegaraan.” Seusai sidang bersama, dijadwalkan Rapat Paripurna DPR yang agendanya ialah Pidato Presiden tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Nota Keuangan yang dihadiri pimpinan dan anggota DPD.

Dalam suratnya, DPD menyoal fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasannya dalam RUU MD3. Sayangnya, RUU tidak merujuk putusan MK yang menegaskan konsitusionalitas ketiga fungsi sesuai UUD 1945. Dalam fungsi legislasi, DPD berwenang untuk mengajukan dan membahas RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah).

DPD juga berwenang untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU pajak, pendidikan, dan agama. Keterlibatan memberikan pertimbangan bertujuan supaya DPD berkesempatan untuk menyampaikan pendapatnya atas RUU itu karena bidangnya terkait kepentingan masyarakat dan daerah.

Adapun kewenangan pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu yang mengikutsertakan DPD dalam pembahasan dan/atau pertimbangannya merupakan kesinambungan kewenangan pengawasan DPD atas pelaksanaan RUU tertentu. Selain itu, DPD memiliki kewenangan memberikan pertimbangan atas pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena BPK mengawasi penggunaan anggaran sebagai pelaksanaan atas UU APBN, dan DPD menyampaikan pertimbangannya.

Surat DPD menyinggung nomenklatur alat kelengkapan DPD dan panitia kerja sebagai nomenklatur alat kelengkapan DPD yang bidangnya tertentu, serta pengembangan sistem pendukunganya. DPD menginginkan penyesuaian nomenklatur alat kelengkapannya seperti Panitia Musyawarah (Panmus) menjadi Badan Musyawarah (Bamus), Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) menjadi Badan Legislasi (Baleg), dan Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) menjadi Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

Selain nomenklatur, DPD menginginkan penyesuaian pengaturan tugas alat kelengkapannya. Jika Badan Kehormatan (BK) DPR berubah menjadi Mahkamah Kehormatan (MK) DPR beserta rincian mekanisme dan tata beracaranya dalam RUU MD3, pengaturan tugas alat kelengkapan DPD masih seperti rumusan UU MD3. Tugas Badan Legislasi (Baleg) DPR juga berubah, yaitu menyusun, mengevaluasi, dan menyempurnakan peraturan DPR tapi RUU MD3 mengatur BK DPD yang melakukannya.

DPD menginginkan penyesuaian pengaturan tugas alat kelengkapan DPR-DPD guna menyinkronisasikan mekanisme kerja kedua lembaga perwakilan, termasuk panitia kerja yang pimpinannya terdiri atas satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia kerja. Penyesuaian tersebut untuk kepastian hukum dan mekanisme kerja DPD.

Surat DPD pun menyinggung desain keparlemenan (lembaga perwakilan) dalam UU MD3 yang menyulitkan pengembangan supporting system DPD, karena RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengatur Badan Fungsional/Keahlian sebagai sistem pendukung DPR tapi tidak mengaturnya untuk DPD. DPD beralasan, RUU MD3 tidak semestinya membedakan sistem pendukung DPR dengan DPD karena kedudukan dan peran keduanya sama-sama lembaga perwakilan.

Kemandirian DPD menyusun anggaran juga persoalan. RUU Perubahan UU MD3 mengatur kemandirian menyusun anggaran yang terealisir dalam program/kegiatan untuk MPR dan DPR tapi RUU MD3 tidak mengaturnya untuk DPD. “Rumusan untuk DPD masih sama dengan ketentuan UU MD3,” DPD berpendapat.

UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Selanjutnya, UU disampaikan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara agar Presiden mengesahkan (menandatangani) UU. UU pun berlaku pada saat disahkan di Jakarta oleh Presiden dan diundang-undangkan di Jakarta pada saat yang sama oleh Menteri Negara Sekretaris Negara. Agar setiap orang mengetahuinya, Presiden memerintahkan pengundang-undangannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia sebagai undang-undang yang memiliki nomor dan tahun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun