Lebaran Idul Adha tahun ini, rasanya akan berbeda. Tak ada semarak seperti biasanya. Istriku mudik ke desa, membawa serta si bungsu, Akbar. Sementara aku tetap di Kota Muara Enim, tinggal bersama Kahfi, anak keduaku yang telah beranjak remaja.
Sebenarnya, kesendirian bukan hal baru bagiku. Sejak kecil, aku terbiasa sendiri. Aku anak tunggal. Setelah kelahiranku pada tahun 1973, dokter menyarankan agar ibu disteril. Kata dokter, kehamilan selanjutnya bisa membahayakan nyawa ibu. Bapak menyetujui. Maka, akulah satu-satunya anak yang tumbuh di rumah kami.
Karena itu, kesendirian adalah sahabat lama. Saat kecil, aku sering bermain sendiri di halaman rumah. Kalau pun berteman, hanya burung merpati yang kupelihara di samping rumah. Kalau aku bosan, aku pindah posisi. Aku bercengkrama dengan Pak Yas---tetangga yang dipercaya bapak mengurus ayam, bebek dan kambing di halaman belakang rumah kami.
Tapi, saat aku mulai senang keluar rumah mencari teman main tenis meja, bapak memilih membelikanku meja dan bet sendiri. Jadilah rumah kami ramai oleh bunyi bola pingpong. Bapak dan ibu pun merasa tenang. Mereka tahu anaknya ada di rumah.
Kini, kesendirian itu datang lagi, dalam rupa yang berbeda. Aku bukan lagi anak kecil. Aku seorang suami, seorang ayah. Tapi malam-malam terasa sunyi. Istriku tak di sisi. Akbar, anak kecilku, yang biasa merengek minta dipijit punggungnya setiap jelang tidur, juga tak ada. Hanya Kahfi, anak lelaki remajaku, yang lebih suka berdiam di kamar dengan dunianya sendiri.
Sebenarnya, sejak dulu aku tak selalu bisa pulang saat Idul Adha. Di tahun 90-an, saat masih kuliah, libur lebaran haji hanya dua hari. Aku tak mungkin mudik ke desa yang letaknya jauh. Maka, rindu pada bapak dan ibu hanya bisa kusampaikan lewat telegram:
 "Bapak dan Ibu. Alif tak bisa pulang Idul Adha ini. Salam takzim."
Telegram hanya bisa memuat kata-kata secukupnya. Tak seperti sekarang, tinggal ketik panjang di WhatsApp. Dulu, tiap kata dihitung dan dibayar. Maka harus singkat, padat, dan tepat.
Ibu selalu bilang, kalau waktunya pendek, lebih baik jangan pulang. "Tunggu saja sampai libur panjang atau Idul Fitri," katanya. Aku tahu, dua hari tak cukup untuk mengobati rindunya padaku, anak satu-satunya.