"Tapi namanya masih korupsi juga," sergah Lin.
"Mestinya, kita berterima kasih kepada para koruptor," Kiai Majid mencoba menengahi. Tapi ucapan Kiai Majid membuat kami heran. Kami saling pandang. Sebuah pertanyaan di benak kami masing-masing. Mengapa Kiai Majid bicara seperti itu?
Kiai sesaat tersenyum. Kian lama kian lebar. Giginya yang ompong makin jelas. Ia seperti mengetahui dengan apa yang terpikir di benak kami.
"Kok terima kasih, Kiai? Koruptor itu kan pencuri harta Negara, yang mengakibatkan kemiskinan di negeri ini makin meraja lela!?" Adi penasaran.
"Kalian tahu, mengapa ada koruptor?' Kiai Majid tiba-tiba menyoal kami.
"Ya, karena mereka masih kurang duit," Lin menjawab sekenanya.
"Bukan, tapi karena mereka rakus dengan harta," Fer menimpali.
"Karena tidak bisa mengendalikan nafsu duniawi," ujar Dika, salah satu remaja masjid di kampung kami.
"Kurang duit, rakus, tamak, nafsu duniawi. Sekarang siapa yang membuat mereka seperti itu? Kiai Majid makin membuat kami bingung.
"Ya, syetan, lah!" Dika menimpali.
Kiai memandang kami secara bergantian. Tak ada jawaban lain. Syetan!