Mohon tunggu...
Imron Fhatoni
Imron Fhatoni Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar selamanya.

Warga negara biasa!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Umat Islam Itu Mudah Diatur!

20 Mei 2020   06:11 Diperbarui: 20 Mei 2020   13:52 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (islammobile.net)

Umat islam itu mudah diatur. Tenang saja. Kita memang dianjurkan untuk taat kepada pemimpin. Kita pasti legowo kalau disuruh sholat idul fitri di rumah. 10 minggu sejak pasien pertama diumumkan, kita sudah ikuti semua himbauan pemerintah. Termasuk didalamnya melaksanakan aktivitas ibadah di rumah. Beda pandang soal anjuran sholat berjamaah itu memang sempat ada, tapi toh secara umum masyarakat tetap mematuhi.

Yang membuat kebanyakan kita agak tersinggung itu adalah, karena pemerintah terkesan tidak tegas. Disisi lain tempat ibadah ditutup, masyarakat dilarang berkerumun, dilarang mudik, disuruh diam di rumah, pake masker, social distancing, dan mematuhi segala protokol Covid-19, tapi pada saat yang bersamaan, mall-mall, pusat perbelanjaan, serta pusat keramaian lain masih tetap dibuka. 

Maksud saya, kalau memang pemerintah serius mau melawan Corona, jangan buat aturan itu abu-abu. Jangan multi tafsir. Kasian juga para pejabat di level daerah kelabakan menerjemahkannya. Misalnya: ada daerah yang membolehkan sholat eid di masjid seperti tahun-tahun sebelumnya. Ada juga daerah yang tidak membolehkan. 

Masyarakat kemudian bertanya: kenapa daerah A boleh, kenapa daerah B tidak boleh. Jawabannya tentu bisa beragam. Kita bisa saja mengatakan bahwa tingkat penyebaran Covid-19 di dua daerah ini berbeda. Daerah A dibolehkan karena tingkat penyebarannya tergolong rendah atau bisa dikategorikan sebagai daerah zona hijau, sedang daerah B termasuk zona merah.

Pertanyaan selanjutnya adalah: mana daerah yang disebut zona merah dan mana yang disebut zona hijau. Apa ukurannya. Pada skala mana zona itu berlaku. Apakah pada skala dusun, desa, kabupaten, atau provinsi. Siapa pula yang punya kewenangan untuk menentukannya. Apa konsekuensi bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Dan masih banyak lagi.

Bayangkan saja, ditengah kampanye perlawanan terhadap Covid-19 yang sedemikian massif, para pejabat malah seenaknya menggelar konser, tampil di depan kamera dengan mengabaikan protokol Covid-19, tanpa masker, tanpa jaga jarak. Parahnya lagi, masih berani pula mereka menghimbau untuk tetap patuh pada anjuran pemerintah.

Ini sama parahnya dengan kita menceritakan tentang keutamaan berpuasa di bulan ramadhan, sementara kita sendiri tidak berpuasa. Menyuruh orang lain untuk taat beribadah, sedang kita sendiri mengabaikan kewajiban itu. Bingung-bingung ku memikirkan.

Inilah anomali yang kita hadapi sekarang. Pemerintah katanya sudah siap menyongsong era Normal Baru, menyeru untuk berdamai dengan virus, bahkan sempat muncul wacana relaksasi PSBB. Padahal, sebagaimana data yang beredar, curva Covid kita masih fluktuatif. Belum bisa dikendalikan.

Mari lihat contoh kasus di daerah kita NTB. Belakangan, trend kesembuhan pasien Corona di NTB cukup menggembirakan. Bahkan disebut-disebut telah melampaui angka nasional. Dalam satu media, Wakil Gubernur NTB, Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalillah mengatakan NTB berada di posisi kedua sebagai daerah dengan angka kesembuhan terbaik di Indonesia. 

Saya sendiri sangat senang membaca kabar tersebut saat itu. Tentu dengan semakin banyaknya pasien yang sembuh, juga klaster-klaster penyebaran yang telah berhasil diidentifikasi, kita semua berharap tidak ada lagi kasus baru. NTB kemudian segera ditetapkan sebagai zona hijau, lalu masyarakat bisa kembali beraktivitas seperti biasa. 

Tetapi seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, virus ini bukanlah sesuatu yang mudah ditebak. Buktinya per tanggal 19 Mei kemarin, setelah beberapa hari usai mall dibuka, jumlah pasien positif tiba-tiba melonjak. Wal hasil, SKB soal sholat idul fitri dicabut. Gubernur serukan sholat eid di rumah. 

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini? 

Yang ingin saya sampaikan adalah, kita jangan lengah. Kita semua tentu berharap bahwa setelah sekian lama berdiam di rumah, kita seharusnya sudah berhasil membengkokkan kurva Covid, meringankan beban tenaga medis dan penggali kubur, sehingga kehidupan berangsur pulih.

Saya memahami betapa kita semua ingin segera kembali berkegiatan dan beramai-ramai. Semua orang lelah. Wabah ini tidak hanya menimbulkan dampak psikologis, tetapi juga sosio ekonomi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Jutaan orang telah kehilangan sumber penghidupan. Gelombang PHK terjadi dimana-mana. Rakyat merosot ke jurang kemiskinan. Banyak usaha kecil hingga menengah mengalami penyusutan bahkan kebangkrutan. 

Tetapi bukankah kita semua tahu, bahwa selama vaksin belum ditemukan, kita tidak benar-benar bisa memastikan kapan wabah ini akan hilang dari muka bumi? Terserah kita mau berasumsi apa saja soal virus ini. Yang jelas, data menunjukkan bahwa kasus baru masih tetap ada dan korban jiwa masih terus berguguran.

Kita bisa belajar dari sejarah wabah Flu Spanyol seabad lalu, dimana angka kematian terbesar justru terjadi pada gelombang kedua, setelah orang lelah berdiam di rumah pada gelombang pertama lalu keluar bergaul karena merasa keadaan aman-aman saja.

Kembali ke pernyataan saya di awal. Umat islam itu mudah diatur. Asalkan mereka yang mengatur punya keteladanan yang baik, sehingga layak untuk diikuti. Umat Islam itu mudah diatur. Asalkan mereka yang mengatur punya konsistensi, sejalan antara ucapan dan perbuatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun